Para petinggi negara sering menggunakan laporan mata dua tahhunan sebagai alat diplomatik sembari menarik negara-negara yang dianggap memiliki nilai tukar yang membahayakan pekerjaan AS dan pertumbuhan ekonomi.
Sebelumnya, sejak kepemimpinan Bill Clinton pada tahun 1990an, Amerika Serikat belum menyebut China sebagai manipulator mata uang, meski sudah secara khusus menandai negara tersebut. Menunjuk suatu negara tidak langsung memicu hukuman, tetapi dilihat oleh pemerintah lain sebagai provokasi.
Departemen Keuangan, sebelumnya telah berulang kali menolak untuk menyebut China sebagai manipulator mata uang, meskipun Trump berjanji untuk melakukannya selama kampanye 2016-nya.
Baca juga: Perang Dagang, Penjualan iPhone Anjok 12 Persen Jadi 26 Miliar Dollar AS
Sebagai gantinya, Negeri Tirai Bambu tersebut ditempatkan pada "daftar pemantauan" Departemen Keuangan dalam tinjauannya terhadap mitra dagang AS bersama dengan delapan negara lainnya.
Laporan Departemen Keuangan menyoroti "keprihatinan signifikan" atas depresiasi mata uang China terhadap dolar AS yang terjadi secara signifikan.
Pelemahan nilai tukar menjadi komponen penting dari pembicaraan perdagangan yang sedang berlangsung, dan AS pun berupaya untuk mendesak China agar mengambil langkah-langkah untuk menghindari pelemahan mata uang secara terus menerus.