Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ini Alasan Luhut Larang Perluasan Perkebunan Sawit di Papua

Kompas.com - 28/02/2020, 15:10 WIB
Yoga Sukmana

Editor

Sumber

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan sepakat, pihaknya tidak menginginkan lagi ada pengembangan kelapa sawit di wilayah Papua maupun Papua Barat.

Pasalnya, kata Luhut, sudah dapat dipastikan mayoritas dari perkebunan kelapa sawit akan dimiliki oleh perusahaan-perusahaan besar.

"Jadi kami sudah moratorium untuk pengembangan hutan, jangan kelapa sawit lagi. Kelapa sawit pasti kepemilikannya adalah perusahaan-perusahaan besar. Kita ingin small medium enterprises atau UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah) berkembang," ujar Luhut di Sorong, Kamis (27/2).

Baca juga: Luhut: Investasi Kelapa Sawit Belum Tentu Untungkan Masyarakat Lokal...

Sejalan dengan moratorium tersebut, maka Luhut mendorong perkembangan komoditas unggulan berupa kopi, kakao, pala, rumput laut melalui investasi hijau (green investment) di provinsi Papua dan Papua Barat.

Kemudian, untuk perkebunan sawit yang saat ini telah berjalan, Luhut menyatakan ia tak akan mengganggu industri tersbeut. Namun demikian, ia menegaskan jika para pelaku usaha tidak diperbolehkan lagi melakukan pelebaran lahan, terlebih saat ini sudah ada moratorium sawit.

"Sawit yang sudah jalan silakan tidak akan kami ganggu, tapi tidak boleh lagi ada pelebaran lahan, karena sudah moratorium sekarang. Kami hanya mengingatkan kembali jangan orang-orang kaya saja potong-potong hutan yang nanti merusak kita semua," kata Luhut.

Senada dengan Luhut, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia juga mengatakan, pihaknya akan memperketat perizinan dalam konteks investasi di Papua dan Papua Barat.

Baca juga: Erick Thohir Angkat Mantan Anak Buah Sri Mulyani Jadi Komut Pegadaian

Tak hanya itu, BKPM juga akan melakukan pemberdayaan keterlibatan masyarakat lokal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di Papua dan Papua Barat. Kata Bahlil, adanya pemberdayaan ini diharapkan dapat membuat pertumbuhan ekonomi di Papua dikuasai oleh masyarakat Papua sendiri, bukan hanya suatu kelompok tertentu.

"Supaya jangan masyarakat ini ribut terus karena ditebang kayunya oleh perusahaan-perusahaan besar, diisi oleh sawit, kemudian hasilnya dibawa dan rakyat hanya merasakan apa yang orang lain punya," papar Bahlil.

Ke depannya, Bahlil juga mengatakan ia akan memprioritaskan keterlibatan masyarakat lokal dalam memanfaatkan potensi daerahnya secara maksimal.

Baca juga: Lion Air Resmi Hentikan Sementara Penerbangan Umrah ke Arab Saudi

"Kami sekarang di investasi itu tidak hanya bicara investasi yang triliunan. Untuk di Papua, pendekatan yang akan kita lakukan adalah investasi yang menengah ke bawah. Dengan pola investasi yang sangat ramah lingkungan ini fokus kami sekarang ini adalah pada komoditas pala, kakao, sektor perikanan, dan sektor-sektor yang sudah menjadi komoditas dan sudah turun-temurun," kata Bahlil.

Sebagai informasi, sebelumnya Presiden Joko Widodo telah menerbitkan moratorium perizinan perkebunan kelapa sawit sejak September 2018 silam. Beleid ini tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit. (Rahma Anjaeni | Handoyo)

Baca juga: Mulai April 2020, Ponsel dari Luar Negeri Harus Daftar IMEI dan Bayar Pajak

Artikel ini telah tayang di Kontan.co.id dengan judul: Luhut tidak ingin ada pengembangan perkebunan sawit di wilayah Papua

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com