"Risiko penurunan skenario dasar ini sangat tinggi, karena munculnya gelombang epidemi kedua, atau ketiga akan menenggelamkan pertumbuhan lebih lanjut," ujarnya.
Baca juga: RI Dinilai Perlu Waspada Potensi Resesi Ekonomi Akibat Corona
Selain itu pada tahap ini, Demarais mengaku sulit pula melihat strategi keluar dari penguncian. Artinya ketidakpastian pertumbuhan akan tetap tinggi.
"Akhirnya, kombinasi dari pendapatan fiskal yang lebih rendah, dan pengeluaran publik yang lebih tinggi, akan menempatkan banyak negara di ambang krisis utang," ungkapnya lebih lanjut.
Selain ketiga negara di atas, ekonomi AS diprediksi akan berkontraksi sebesar 2,8 persen tahun ini setelah sebelumnya diprediksi tumbuh mencapai 1,7 persen.
Penyebabnya, respon awal AS terhadap pandemik dinilai buruk sehingga memungkinkan penyakit menyebar dengan cepat.
Selain itu, saat risiko ekonomi mulai meningkat akibat corona, perjanjian minyak mentah antara Arab Saudi dengan Rusia untuk memangkas produksi minyak justru runtuh. Hal itu membuat harga minyak dunia jatuh.
Baca juga: Terdampak Virus Corona, Pertumbuhan Ekonomi AS Bisa Nol Persen?
Kombinasi epidemi virus corona dan penurunan harga minyak global, membuat investasi akan mengalami kontraksi tajam tahun ini, terutama di sektor energi. Akhirnya pertumbuhan ekspor akan menurun.
"Ini menempatkan tawaran pemilihan ulang Donald Trump (dalam Pilpres) dalam risiko, karena pengangguran tampaknya akan meningkat tajam," tulis The Economist.
Dampak ekonomi karena wabah virus corona lebih dalam dibanding dampak SARS untuk ekonomi China. Jika asumsi virus corona "tak kambuh" lagi, pertumbuhan PDB riil China bisa berada pada angka 1 persen pada 2020.