Betapa tidak, kasus “hancur-hancuran” Bumiputera ternyata sudah berlangsung sejak 1997. Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ketika itu (sebelum ada institusi OJK) sebenarnya sudah mendeteksi kasus ini.
Kerugiannya membengkak dari tahun ke tahun. Periode 1997–2002 terdata ada defisit Rp 2,07 triliun, di periode 2002-2010 defisit makin membesar menjadi Rp 4,94 triliun. Sementara, di rentang 2010–2014 defisit kian membengkak menjadi Rp 9,25 triliun.
Defisit terus bertambah di tahun-tahun berikutnya: 2014–2016 melonjak Rp 13,46 triliun, 2016–2018 bertambah lagi menjadi Rp 18,9 triliun, dan terakhir di 2021 berlipat defisitnya menjadi Rp 21,6 triliun.
Kasus Bumiputera yang dibiarkan berlarut-larut bisa menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan asuransi. Apalagi, selain Bumiputera ada juga kasus yang lebih besar yaitu Jiwasraya dan Asabri.
Kasus Bumiputera akan menjadi lebih besar lagi dan merugikan semakin banyak nasabah. Bumiputera bisa menjadi episentrum dari catastrophe atau kehancuran indusri asuransi. Sesuatu yang harus dicegah, jangan sampai terjadi (Infobanknews.com, Agustus 2021).
Pertanggungjawaban hukum yang dilakukan baru sebatas penahanan Ketua BPA periode 2018-2020 Nurhasanah. Ia ditahan sejak 29 Juni 2021.
Baca juga: Ditetapkan Jadi Tersangka Kasus Bumiputera, Siapa Nurhasanah?
Pemerintah memang tidak bisa diharap menalangi seluruh kerugian Bumiputera mengingat Bumiputera adalah perusahaan swasta murni berbentuk badan hukum usaha bersama. Tetapi setidaknya tidak melepaskan peran pengawasan OJK selama ini.
Kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero) mirip Bumiputera. Praktik salah kelola Jiwasraya sudah terjadi sejak 2006. Kementerian BUMN dan Bapepam menyatakan ekuitas Jiwasraya defisit Rp 3,26 triliun.
Baca juga: Vonis Lengkap 6 Terdakwa Jiwasraya yang Diganjar Hukuman Seumur Hidup
Pada 2008 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan opini disclaimer alias tidak menyatakan pendapat untuk laporan keuangan 2006-2007 lantaran penyajian informasi cadangan tidak dapat diyakini kebenarannya.
Defisit perseroan semakin lebar, yakni Rp 5,7 triliun pada 2008 dan Rp 6,3 triliun pada 2009.
Di rentang 2010-2012 Jiwasraya melanjutkan skema reasuransi dan mencatatkan surplus sebesar Rp 1,3 triliun pada akhir 2011.
Kepala Biro Perasuransian Isa Rachmatawarta menyebut, metode reasuransi merupakan penyelesaian sementara terhadap seluruh masalah. Sebab, keuntungan operasi dari reasuransi cuma mencerminkan keuntungan semu dan tidak memiliki keuntungan ekonomis.
Pada Mei 2012, permohonan perpanjangan reasuransi ditolak. Laporan keuangan Jiwasraya 2011 disebut tidak mencerminkan angka yang wajar.
Pada 2012, Bapepam-LK memberikan izin produk JS Proteksi Plan pada 18 Desember 2012. JS Proteksi Plan dipasarkan melalui kerja sama dengan bank (bancassurance). Produk ini ikut menambah sakit perseroan lantaran menawarkan bunga tinggi, yakni 9 persen hingga 13 persen.
Di tengah permasalahan keuangan, Jiwasraya malah “gagah-gagahan” menggelontorkan dana sponsor untuk klub sepakbola asal Inggris, Manchester City pada 2014.
Periode Oktober-November 2018, masalah tekanan likuiditas Jiwasraya mulai tercium publik. Perseroan mengumumkan tidak dapat membayar klaim polis jatuh tempo nasabah JS Saving Plan sebesar Rp 802 miliar.
Jiwasraya membutuhkan dana sebesar Rp32,89 triliun untuk memenuhi rasio solvabilitas (RBC) 120 persen.
Tidak hanya itu, aset perusahaan tercatat hanya sebesar Rp 23,26 triliun, sedangkan kewajibannya mencapai Rp 50,5 triliun.
Akibatnya, ekuitas Jiwasraya negatif sebesar Rp 27,24 triliun. Sementara itu, liabilitas dari produk JS Saving Plan yang bermasalah tercatat sebesar Rp 15,75 triliun.
Pada 2019, Menteri BUMN Erick Thohir melaporkan indikasi kecurangan di Jiwasraya ke Kejaksaan Agung.
Hal itu dilakukan setelah pemerintah melihat secara rinci laporan keuangan perusahaan yang dinilai tidak transparan.
Selain itu juga disinyalir investasi Jiwasraya banyak ditaruh di saham-saham gorengan. Hal ini yang menjadi satu dari sekian masalah gagal bayar klaim Asuransi Jiwasraya.
Selain Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta juga menaikkan status pemeriksaan dari penyelidikan menjadi penyidikan kasus dugaan korupsi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga ikut memantau perkembangan penanganan perkara kasus dugaan korupsi di balik defisit anggaran Jiwasraya (Cnnindonesia.com, 8 Januari 2020).