Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Satgas BLBI Sita Aset Tanah Senilai Rp 19 Triliun, Sekjen HMS: Kemungkinan Nilainya Bisa Nyusut

Kompas.com - 03/04/2022, 20:00 WIB
Ade Miranti Karunia,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Sekjen Gerakan Hidupkan Masyarakat Sejahtera (HMS) Hardjuno Wiwoho mengkritik keras klaim Satuan Tugas (Satgas) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang telah menyita aset tanah para obligor senilai Rp 19 triliun.

Pasalnya, nilai aset yang disita itu tidak mencerminkan nilai sebenarnya lantaran sudah menyusut.

Baca juga: Satgas BLBI Sudah Sita 19,9 Juta Meter Persegi Tanah Obligor-Debitur, Nilainya Rp 19 Triliun

Ia kembali menjelaskan, klaim Menko Polhukam, Mahfud MD yang menyatakan bahwa Satgas telah menyita aset obligor sebanyak 19 juta meter dengan perhitungan rata-rata nilainya Rp 19 triliun adalah pernyataan berbahaya dan berimplikasi hukum. Sebab, aset sitaan bukanlah sitaan tunai dan belum masuk kas negara sehingga belum bisa dihitung.

"Satgas BLBI musti ingat, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dulu melakukan kekeliruan yang sama yakni perkiraan nilai aset sudah dihitung sebagai nilai pembayaran utang. Namun setelah dijual, ternyata nilai tunai hanya 5 persen dari perkiraan," ujarnya melalui keterangan tertulis, Minggu (3/4/2022).

Baca juga: Satgas BLBI Sita Tanah 340 Hektar Milik Agus Anwar

Jadi, kalau ada pihak-pihak yang menyatakan sitaan tanah itu nilainya sekian dan ternyata setelah dilelang nilainya jauh dari perkiraan, hal itu bisa disebut sebagai korupsi karena merugikan negara.

"Ingat BPPN menerima aset lalu sudah dikatakan nilainya sekian-sekian, utang obligor lunas, dikasih SKL (Surat Keterangan Lunas). Ternyata setelah dijual nilainya hanya 5 persen dari perkiraan. Ini siapa yang tanggung jawab? Seharusnya bisa disebut sebagai korupsi karena rugikan negara, ini kesalahan fatal yang jangan diulang lagi," katanya.

Baca juga: Negara Bakal Lelang Ulang Aset BLBI Tommy Soeharto Senilai Rp 2,15 Triliun, Ini Rinciannya

Pada intinya, Hardjuno menegaskan, Satgas jangan pernah menilai dari valuasi aset seperti tanah yang disita, karena bisa saja nilainya di mark up. Yang harus dinilai adalah ketika aset tersebut sudah dijual dan hasil penjualannya sudah disetorkan ke kas negara sebagai pengembalian kerugian negara.

"Jadi jelas ya, angka klaim Satgas BLBI sudah sukses menyita aset sebesar Rp 19,1 trilliun itu hanyalah angka perkiraan yang cenderung kosong melompong. Tanah-tanah sitaan yang dulu diklaim Rp 9,8 triliun itu dan sekarang tambah lagi ini, kita perkirakan jika dilelang nilainya tak lebih dari Rp 1 triliun-Rp 2 triliun," pungkasnya.

Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan, sejak Satgas BLBI dibentuk hingga saat ini, telah berhasil menyita sejumlah aset dan nilainya mendekati Rp 20 triliun.

"Sampai saat ini, Satgas BLBI sudah berhasil menyita aset tanah sebesar 19.988.942,35 meter persegi yang kalau dinilai dengan uang seluruhnya dengan perhitungan konservatif dengan hitungan rata-rata sebesar 19.134.633.815.293 rupiah," paparnya.

Mahfud menegaskan, pemerintah akan terus fokus mengembalikan hak negara. Selain itu, ia juga memastikan bahwa pemerintah akan terus mengejar aset obligor dan debitur BLBI. Di sisi lain, Mahfud mengaku tak mau ambil pusing mengenai perdebatan terkait kasus BLBI.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ada Hujan Lebat, Kecepatan Whoosh Turun hingga 40 Km/Jam, Perjalanan Terlambat

Ada Hujan Lebat, Kecepatan Whoosh Turun hingga 40 Km/Jam, Perjalanan Terlambat

Whats New
BTN Buka Kemungkinan Lebarkan Bisnis ke Timor Leste

BTN Buka Kemungkinan Lebarkan Bisnis ke Timor Leste

Whats New
[POPULER MONEY] Respons Bulog soal Program Makan Siang Gratis Butuh 6,7 Ton Beras Per Tahun | Iuran Pariwisata Bisa Bikin Tiket Pesawat Makin Mahal

[POPULER MONEY] Respons Bulog soal Program Makan Siang Gratis Butuh 6,7 Ton Beras Per Tahun | Iuran Pariwisata Bisa Bikin Tiket Pesawat Makin Mahal

Whats New
KCIC Minta Maaf Jadwal Whoosh Terlambat Gara-gara Hujan Lebat

KCIC Minta Maaf Jadwal Whoosh Terlambat Gara-gara Hujan Lebat

Whats New
Cara Pinjam Uang di Rp 5 Juta di Pegadaian, Bunga, dan Syaratnya

Cara Pinjam Uang di Rp 5 Juta di Pegadaian, Bunga, dan Syaratnya

Earn Smart
Kemenkeu Akui Pelemahan Rupiah dan Kenaikan Imbal Hasil Berdampak ke Beban Utang Pemerintah

Kemenkeu Akui Pelemahan Rupiah dan Kenaikan Imbal Hasil Berdampak ke Beban Utang Pemerintah

Whats New
Prudential Laporkan Premi Baru Tumbuh 15 Persen pada 2023

Prudential Laporkan Premi Baru Tumbuh 15 Persen pada 2023

Whats New
Bulog Siap Pasok Kebutuhan Pangan di IKN

Bulog Siap Pasok Kebutuhan Pangan di IKN

Whats New
Pintu Perkuat Ekosistem Ethereum di Infonesia

Pintu Perkuat Ekosistem Ethereum di Infonesia

Whats New
BTN Syariah Cetak Laba Bersih Rp 164,1 Miliar pada Kuartal I 2024

BTN Syariah Cetak Laba Bersih Rp 164,1 Miliar pada Kuartal I 2024

Whats New
Pegadaian Bukukan Laba Bersih Rp 1,4 Triliun pada Kuartal I 2024

Pegadaian Bukukan Laba Bersih Rp 1,4 Triliun pada Kuartal I 2024

Whats New
Program Makan Siang Gratis Butuh 6,7 Ton Beras Per Tahun, Bulog Tunggu Arahan Pemerintah

Program Makan Siang Gratis Butuh 6,7 Ton Beras Per Tahun, Bulog Tunggu Arahan Pemerintah

Whats New
BTN Cetak Laba Bersih Rp 860 Miliar pada Kuartal I 2024

BTN Cetak Laba Bersih Rp 860 Miliar pada Kuartal I 2024

Whats New
Bulog Siap Jadi Pembeli Gabah dari Sawah Hasil Teknologi Padi China

Bulog Siap Jadi Pembeli Gabah dari Sawah Hasil Teknologi Padi China

Whats New
Bulog Baru Serap 633.000 Ton Gabah dari Petani, Dirut: Periode Panennya Pendek

Bulog Baru Serap 633.000 Ton Gabah dari Petani, Dirut: Periode Panennya Pendek

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com