Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ronny P Sasmita
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution

Penikmat kopi yang nyambi jadi Pengamat Ekonomi

Ekonomi Pariwisata Berbudaya Indonesia

Kompas.com - 31/05/2022, 09:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Tapi kental terasa perbedaannya antara Jakarta dan Denpasar, misalnya, meskipun ada Starbuck, McD, atau Transmart, karena Bali memang memadukan antara ekonomi dan budaya dalam konsep ekonomi Pariwisata.

Setiap bangunan di Denpasar, baik pemerintah maupun swasta, diwajibkan menyertakan beberapa unsur budaya Bali.

Bisa bentuk gapuranya, pagarnya, asesoris ruang tamunya, atau apapun penampakan depannya.

Yogyakarta di sisi lain juga sudah terbilang seirama dengan Bali. Dan kota-kota besar dunia yang disebutkan di atas, termasuk Bali dan Yogyakarta, memang berhasil menjadi kota-kota dengan kunjungan wisata yang tinggi setiap tahun.

Karena untuk merasakan London, tidak cukup hanya datang ke salah satu negara Eropa, tapi harus benar-benar ke London. Begitu pula dengan Paris, Bali atau Yogyakarta.

Berbeda dengan Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, atau Padang, yang minim sentuhan budaya dalam penampakan kotanya.

Di Sumbar, misalnya, tanda pembedanya hanya atapnya saja. Sementara atap tak bisa dirasakan, layaknya pagar atau asesori ruang tamu.

Bahkan perbedaan dengan Bukittinggi seolah-olah hanya suhunya saja. Perbedaan baru mulai terasa setelah keluar dari kota Padang.

Tapi bukan karena perbedaan rasa, justru karena peralihan dari daerah kota ke daerah semi urban dan daerah pedesaan.

Jadi kembali kepada cerita Keynes tadi, Indonesia perlu memberi ruang fiskal dan regulasional yang layak untuk pembangunan budaya, di mana museum, teater, studio-studio seni, ruang-ruang terbuka, suasana perkantoran, dan ruang publik lainya, hadir sebagai simbol-simbol budaya dan seni Indonesia.

Pembangunan budaya semestinya menjadi identitas kultural bagi setiap langkah pembangunan ekonomi, mulai dari pusat sampai ke daerah, meskipun pertunjukan seni budayanya tidak berlangsung setiap saat.

Begitu pula dengan masjid-masjid, perlu dikemas agar menjadi simbol-simbol komunikatif yang menjelaskan siapa diri kita.

Kota memang perlu tertib, bersih, teratur, tapi semua kota di dunia melakukan itu dan memiliki ciri itu.

Yang tidak dimiliki oleh kota lain adalah rasa yang tidak dicandra dengan lidah, tapi dengan hati. Dan rasa itu semestinya lahir dari budaya kita sendiri.

"Rasa" itulah yang semestinya membuat orang datang ke Jakarta, Bandung, Jogyakarta, Semarang, Malang, Surabaya, atau Sumbar, dan lainya, yang tak bisa diwakilkan oleh siapapun atau sekadar menontonnya di Youtube.

Dengan kata lain, Indonesia perlu maju secara ekonomi dalam pakaiaan budaya Indonesia sendiri.

Setelah mampu masuk ke level itu, maka seruannya sudah bukan lagi "visit Indonesia," tapi “ feel Indonesia, feel the taste of Indonesia." Semoga.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com