Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wanti-wanti Ditjen Pajak: Segera Ikut PPS Sebelum Harta Ditelusuri hingga Luar Negeri...

Kompas.com - 03/06/2022, 11:40 WIB
Fika Nurul Ulya,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Masa pelaporan harta dalam Program Pengungkapan Sukarela (PPS) tinggal sebulan lagi, tepatnya sampai 30 Juni 2022. Bagi Anda yang belum melaporkan harta, segera ungkapkan harta pada program tersebut.

Kepala KPP Tanah Abang III Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Harry Pantja Sirait mengatakan, program ini merupakan pemberian kesempatan kepada wajib pajak untuk melaporkan harta secara sukarela, sebelum DJP menyusuri harta yang belum dilaporkan.

Dengan kata lain, WP diminta melaporkan harta secara mandiri/sukarela jika tak ingin mendapat sanksi dari pemerintah ketika ditemukan harta setelah masa PPS selesai. Oleh karena itu, program ini berbeda dengan pengampunan pajak (tax amnesty) tahun 2016.

"Latar belakang PPS karena DJP sudah memiliki banyak data, salah satunya dari implementasi pertukaran data atau secara elektronik maupun data lainnya. PPS adalah solusi untuk memberikan manfaat bagi wajib pajak agar terhindar dari sanksi pajak," kata Harry dalam Sosialisasi PPS di Jakarta, Jumat (3/6/2022).

Baca juga: Hati-hati, jika Instansi Bandel Angkat Pegawai Honorer, Pejabat Kepegawaiannya Bakal Kena Sanksi

Harry menuturkan, DJP bisa menelusuri harta hingga ke luar negeri. Sebab, Indonesia sudah menandatangani perjanjian kerja sama dengan negara lain terkait pertukaran data secara otomatis atau asistensi penagihan pajak global.

Asistensi penagihan pajak global adalah kerja sama dengan yurisdiksi atau negara lain dalam menagih wajib pajak yang berada di luar negeri. Hal serupa juga bisa diminta oleh negara lain kepada Indonesia. Kerja sama ini bertujuan untuk memperkecil ruang penghindaran pajak (tax avoidance).

Artinya, harta apapun yang disembunyikan wajib pajak (WP) di luar negeri, bisa diselidiki dan diketahui oleh DJP. Di sisi lain, pihaknya sedang menyiapkan pembaruan sistem inti perpajakan. Sistem ini akan membantu petugas pajak dalam melakukan pengawasan.

"Jadi seiring dengan penerapan core tax administrasi perpajakan, data keuangan WP akan mudah dibuka, cepat atau lambat akan diketahui oleh otoritas pajak," ucapnya.

Baca juga: Sri Mulyani Bakal Percepat NIK Jadi NPWP Tahun Depan, Ini Alasannya

Lebih lanjut dia menuturkan, penerimaan dari PPS dapat membantu pemulihan ekonomi nasional pasca terhantam pandemi Covid-19.

Asal tahu saja, pemerintah memperlebar defisit fiskal menjadi sekitar 6 persen untuk penanganan Covid-19. Pemerintah juga mengalokasikan dana Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sejak tahun 2020 hingga tahun 2022.

"Dari sisi negara, PPS bisa menjadi potensi penerimaan dan meningkatkan basis pajak di masa yang akan datang," tutup Harry.

Baca juga: KPK Mulai Soroti Penerimaan Negara dari Cukai untuk Cegah Pengemplang Pajak

DJP punya sistem canggih untuk deteksi pengemplang pajak

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, DJP memiliki sistem canggih, seperti Automatic Exchange of Information (AEoI) dan memanfaatkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Dengan sistem tersebut, Ditjen Pajak mampu mendeteksi pengemplang pajak yang tidak mengikuti tax amnesty/tidak mengungkapkan besaran harta yang sebenarnya saat PPS berlangsung.

"Jadi mendingan daripada hidupnya enggak berkah, sudah, lah, ikut saja. Daripada enggak berkah dan kemungkinan (kena sanksi) 200 persen, mendingan ikut saja. Sudah diberi kesempatan," seloroh Sri Mulyani.

Sanksi tak ikut PPS

Terkait sanksi, Kemenkeu menyamakan sanksi administratif dengan program tax amnesty tahun 2016 lalu, yakni 200 persen untuk WP yang masuk dalam kriteria kebijakan I atau WP yang pernah mengikuti tax amnesty tahun 2016.

Sanksi tertuang dalam Pasal 18 ayat 3 UU Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak. Sanksi itu bakal dijatuhkan ketika Ditjen Pajak menemukan harta wajib pajak yang tidak atau belum dilaporkan dalam Surat Pernyataan Harta (SPH) usai mengikuti PPS.

Atas tambahan harta itu, maka dikenai pajak penghasilan (PPh) sesuai dengan Pasal 4 PP 36/2017. Tarif PPh yang harus dibayar wajib pajak badan sebesar 25 persen, wajib pajak orang pribadi sebesar 30 persen, dan wajib pajak tertentu sebesar 12,5 persen.

Rumusan sanksinya adalah tarif PP 36/2017 x nilai harta baru + sanksi UU TA 200 persen.

Sementara bagi OP peserta PPS kebijakan II, tarif yang dikenakan bila telat lapor harta adalah PPh final 30 persen dari harta bersih + sanksi bunga per bulan ditambah uplift factor 15 persen.

"Jadi sanksinya cukup tajam. Capek dong, jadi mendingan ikut saja sekarang. Jauh lebih ringan dibanding sanksi 200 persen," tandas Sri Mulyani.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com