Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Irvan Maulana
Direktur Center of Economic and Social Innovation Studies (CESIS)

Peneliti dan Penulis

Politik Desentralisasi dan Transisi Energi Kita

Kompas.com - 01/07/2022, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Keteguhan posisi dominan PLN dan keengganannya untuk menjauhi batu bara sering kali menciptakan hambatan kebijakan di tingkat nasional untuk dekarbonisasi sistem energi.

Inilah yang menyebabkan batubara akan tetap dominan hingga tahun 2025 dengan proyeksi porsi 30ri total energi nasional, meskipun kita tahu Indonesia memiliki sumber daya energi terbarukan yang melimpah.

Revisi undang-undang otonomi daerah dan peraturan lainnya semakin mempersempit kemampuan pemerintah provinsi untuk mendukung pengembangan energi terbarukan.

Peraturan tentang anggaran pemerintah, misalnya, telah membatasi kemampuan pemerintah kabupaten dan provinsi untuk membiayai pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur energi terbarukan.

Perubahan kerangka peraturan yang terus menerus juga menghasilkan ketidakpastian peraturan, sehingga meningkatkan waktu dan sumber daya yang dibutuhkan oleh pemangku kepentingan lokal untuk memahami implikasi peraturan baru dan untuk mematuhinya.

Untuk itu, sebagai bentuk langkah antisipasi tarik ulur perubahan regulasi, banyak dari pemerintah provinsi pada akhirnya membentuk skema kerjasama baru untuk proyek energi terbarukan.

Hal ini dikarenakan pemerintah kabupaten tidak lagi memiliki kewenangan diskresi fiskal untuk pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur energi terbarukan.

Bahkan, beberapa kabupaten telah mendirikan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di mana mereka dapat secara legal menyisihkan anggaran dan berkolaborasi langsung dengan sektor swasta domestik untuk inisiatif energi terbarukan.

Tak tertinggal di tingkat desa, sejak tahun 2015, pemerintah desa telah menerima transfer fiskal dari pemerintah pusat untuk mendukung pembangunan berbasis masyarakat.

Selain itu, tantangan perencanaan transisi energi daerah akan berbenturan dengan struktur ekonomi masing-masing provinsi dan kabupaten.

Bali, misalnya, tujuan wisata yang dikenal secara global, ekonomi lokal sangat bergantung pada industri pariwisata, pertanian, dan perikanan akan menghadapi tantangan yang berbeda dengan daerah yang bergantung pada industri ekstraktif dan perkebunan kelapa sawit seperti provinsi Kalimantan Selatan.

Di kedua provinsi tersebut, bauran energi saat ini masih didominasi oleh bahan bakar fosil, terutama dari batu bara.

Mengingat target Indonesia untuk transisi ke energi rendah karbon, kedua provinsi perlu menjajaki jalur untuk mencapai masa depan energi bersih melalui pengembangan Rencana Energi Daerah (RUED).

Bahkan beberapa pemerintah desa di Bali telah menggunakan dana desa untuk membangun inisiatif energi terbarukan. Namun, efektivitas jangka panjang dari inisiatif ini masih harus dilihat.

Perwakilan pemerintah daerah juga secara strategis menggunakan kebijakan dan peraturan yang berbeda ketika bernegosiasi dengan otoritas provinsi dalam membangun masa depan energi terbarukan mereka.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com