Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Pengusaha Otobus Keluhkan Kelangkaan Ban...

Kompas.com - 05/09/2022, 13:14 WIB
Isna Rifka Sri Rahayu,
Yoga Sukmana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Ikatan Pengusaha Otobus Muda Indonesia (IPOMI) mengeluhkan sulitnya mendapatkan ban jenis tubeless radial selama beberapa bulan terakhir. Padahal ban jenis ini sangat diperlukan sebagai komponen kendaraan bus.

Ketua Umum IPOMI dan Direktur Utama PO SAN, Kurnia Lesani Adnan mengatakan, hal ini lantaran pasokan ban tubeless radial hanya sedikit tersedia di pasaran.

Di sisi ban menjadi komponen penting bagi pengusaha otobus, lantaran tiap armada bus harus diganti bannya secara berkala untuk menjamin keselamatan penumpang.

Baca juga: Saran Pengamat: Harga BBM Subsidi untuk Angkutan Umum Tak Perlu Naik

Selain itu, ban juga menjadi salah satu kelengkapan yang paling sering disorot dalam uji laik jalan kendaraan bermotor atau uji kir oleh Kementerian Perhubungan.

"Sejak 5 bulan ini juga kami sudah sulit mencari ban. Ban yang kami gunakan mayoritas ban tubeless radial. Ban jenis ini masih impor dan dalam negeri belum bisa produksi banyak," ujarnya kepada Kompas.com, Minggu (4/9/2022).

Dia menjelaskan, kelangkaan ban ini membuat harga ban tubeless radial menjadi naik sehingga biaya operasional perusahaan membengkak sejak beberapa waktu lalu.

Sebelum adanya kelangkaan ban, perusahaan biasanya membeli untuk stok beberapa bulan ke depan, tapi kini harus membeli setiap ban tersedia di pasaran. Hal inilah yang dapat menyebabkan arus kas perusahaan menjadi tidak menentu.

Baca juga: BPH Migas soal BBM Vivo: Badan Usaha Bebas Tentukan Harga...


"Yang dulunya kami bisa beli ban dengan memforecast (memprediksi) beberapa bulan ke depan. Tapi saat ini kalau kami tidak beli saat barang ada resiko bila ke depannya impor macet sehingga kami harus merusak cashflow berjalan," ungkapnya.

Selain kenaikan harga ban, perusahaan otobus juga tengah terbebani dengan naiknya harga suku cadang kendaraan akibat kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen per 1 April lalu.

"Selama 5 bulan terakhir ini sudah terjadi inflasi terhadap harga sparepart (suku cadang)," kata dia.

Baca juga: Jokowi Naikkan Harga BBM, Ini Respons Pengusaha Bus

Terbebani kenaikan harga BBM

Belum selesai berkutat dengan masalah kelangkaan ban dan harga suku cadang, kini pengusaha otobus juga terbebani oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis solar.

Adapun per 3 September lalu, pemerintah menaikkan harga BBM subsidi jenis Solar dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter.

Kenaikan harga BBM ini, kata dia, pasti akan diikuti dengan kenaikan harga komponen kendaraan. Ditambah BBM solar menjadi bahan bakar kendaraan bus yang sangat diperlukan dalam operasional perusahaan.

"Ini setelah BBM naik pasti akan terjadi kenaikan harga lagi terhadap barang atau komponen penunjang operasional kami ke depannya nanti," ucapnya.

Dia menyebut kenaikan harga BBM ini menaikkan biaya operasional perusahaan bus sebesar 25 persen. Kemudian, ditambah dengan harga ban dan suku cadang bus yang naik membuat perusahaan bus memutuskan menaikkan tarif layanannya sebesar 25-35 persen.

"BBM itu salah satu komponen terbesar dari biaya operasional bus. Penyesuaian tarif yang akan kami lakukan kisaran 25-35 persen, lihat daerah dan jarak operasionalnya," tuturnya.

Baca juga: Mengapa Jokowi Naikkan Harga BBM saat Harga Minyak Dunia Turun?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com