Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Abdul Nasir
Dosen

Dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Jember

Menghela Turbulensi Ekonomi Global

Kompas.com - 13/10/2022, 10:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KONDISI pasca pandemi Covid-19 dan pelonggaran mobilitas ekonomi membuat perilaku bank sentral di seluruh dunia berperilaku relatif sama. Mereka sepakat mematok kebijakan moneter kontraktif atau kebijakan uang ketat.

September ini The Fed, bank sentral Amerika Serikat (AS), kembali menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin (bps). Bank Sentral Eropa juga telah menaikan suku bunga 75 bps untuk suku bunga repo. BI turut menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps menjadi 4,25 persen.

Hal ini dilakukan untuk mengurangi permintaan agregat hingga ikutannya adalah menekan inflasi dan menahan ekspektasi inflasi. Tingginya inflasi saat ini bukan semata-mata fenomena moneter yang didorong oleh pemulihan ekonomi pasca pandemi.

Baca juga: Terpapar Sinyal Hawkish The Fed, Nilai Tukar Rupiah Melemah

Kenaikan inflasi merupakan konsekuensi dari perbedaan pertumbuhan ekonomi global dan penyusutan angkatan kerja dunia. Penyebabnya adalah struktur demografi yang berprofil populasi yang semakin menua.

Pertanyaan yang muncul dari fenomena itu adalah mungkinkah pengetatan moneter dapat menyelesaikan masalah mendasar dari fenomena inflasi yang lebih tinggi?

Perbedaan geopolitik yang berkembang di tatanan global, dengan Amerika Serikat di satu pihak dan tatanan alternatif yang dipimpin Rusia dan China di pihak lain menjadi medan pertempuran ekonomi sengit dan berdampak global. Sanksi ekonomi terhadap Rusia berdampak signifikan dalam memantik pengurangan pasokan gas dan minyak ke Eropa Barat.

Belum lagi ikutannya yaitu serta merta mendorong secara eksesif harga energi secara dramatis. Hal ini mengancam penutupan sektor manufaktur di Eropa Barat yang selama ini disokong gas alam Rusia yang relatif murah. Jika itu terjadi, dampaknya adalah biaya produksi jauh lebih tinggi.

Selain itu, kombinasi antara impor yang lebih tinggi dengan ekspor yang rendah menyebabkan neraca transaksi berjalan negara-negara maju menuju ke arah defisit. Posisi itu menekan mata uang mereka.

China diuntungkan

Sementara itu, penerima manfaat utama dari kenaikan suku bunga The Fed dan fenomena “decoupling” Rusia adalah China. China menikmati harga minyak dan gas Rusia yang lebih rendah dan itu akan semakin mengurangi biaya produksi China.

Pada aras ini, memunculkan spekulasi bahwa setiap upaya negara Barat dalam pengembangan kebijakan ekonomi hijau akan menguntungkan China. Ini terjadi karena China telah membangun sebagian besar kapasitas energi hijau global.

Baca juga: Abaikan Ancaman Putin, Uni Eropa Lanjut Susun Rencana Patok Harga Gas Rusia

Poin penting lain adalah pengenaan tarif yang lebih rendah akan memungkinkan pemerintah beberapa negara berkembang dan maju untuk memulai kebijakan dan kegiatan ekonomi baru. Rendahnya suku bunga China dan pelemahan mata uang China, renminbi, akan membuat pinjaman dalam mata uang China lebih murah, yang selanjutnya mendorong internasionalisasi renminbi.

Fenomena kebijakan moneter The Fed yang ketat telah mengapresiasi dolar dan meningkatkan biaya sektor keuangan AS karena imbal hasil obligasi Amerika Serikat lima tahun dan 10 tahun masing-masing sebesar empat persen dan 3,7 persen, naik dari 3 persen dan 2,6 persen dari tahun lalu.

Pembiayaan proyek-proyek besar seperti pengembangan pipa minyak, pembangkit listrik tenaga nuklir, dan terminal LNG menjadi sangat mahal, sehingga memperlambat perluasan kapasitas produksi energi. Karena itu, sangat mungkin kita akan hidup di dunia dengan harga energi yang lebih tinggi tetapi pertumbuhan yang lebih rendah.

Bagaimana Indonesia?

Bagi Indonesia, momok stagflasi kemungkinan akan dapat dihindari karena muncul fenomena ledakan komoditas di berbagai sektor, khususnya industri pertanian dan pulihnya industri pariwisata, sehingga surplus ekonomi akan menjadi lebih besar dan pertumbuhan ekonominya didorong oleh konsumsi swasta.

Namun, pastinya Indonesia tidak kebal dari inflasi. Ketika menengok pergerakan inflasi utama telah merangkak naik, BI belum berubah menjadi hawkish sampai Awal Agustus, dan itu keputusan yang benar untuk dilakukan.

Selama periode sebelum Agustus 2022, rupiah menguat karena aliran masuk modal asing yang positif dan tekanan inflasi domestik yang minimal. Pada minggu akhir Agustus, BI berubah menjadi hawkish karena melihat kenaikan inflasi inti, ukuran permintaan agregat domestik yang lebih rekat daripada inflasi utama, merayap naik hingga 3 persen, dan mengancam akan meningkat lebih lanjut karena kenaikan harga eceran bahan bakar baru-baru ini.

Baca juga: Suku Bunga BI Naik, Ini Dampak Positif dan Negatifnya

Sejauh ini BI telah menaikkan suku bunganya hanya sebesar 75 bps, untuk menahan tekanan pada rupiah dan memberi sinyal pengetatan moneter ke depan untuk mengurangi inflasi inti. Ke depan, kita bisa berharap sikap agresif BI akan berubah.

September ini saja, disinyalir inflasi inti berkutat pada 3,5 persen, sedangkan inflasi headline diperkirakan sekitar 6,08 persen (yoy), naik dari 4,69 persen pada Agustus. Cadangan devisa BI turun signifikan seiring pelemahan rupiah.

Karena itu, besar harapan BI akan menaikkan suku bunga kebijakan hingga 5 atau 5,25 persen pada akhir tahun agar aset rupiah tetap menarik bagi investor portofolio asing. Pada level tersebut, suku bunga masih belum terlalu mengganggu pertumbuhan pasca pandemi, terutama karena transmisi kebijakan kenaikan suku bunga dalam perekonomian akan memakan waktu sekitar enam bulan.

Namun, ini tidak cukup, BI juga harus gencar memberlakukan kewajiban repatriasi pendapatan ekspor ke sektor keuangan domestik dan membujuk sektor swasta domestik untuk meningkatkan produktivitasnya, mungkin bank dan korporasi yang masih memiliki likuiditas tinggi untuk membeli obligasi pemerintah.

Dalam jangka menengah hingga panjang, pemerintah dan BI harus koordinasi guna menghindari jebakan dalam “perangkap komoditas” dengan mengintegrasikan keputusan ekonomi yang diambil ke dalam rantai nilai global yang divergen dan menggali potensinya ekonomi yang ada.

Poin utama lain adalah mengarus pada giat pemerintah yang harus memanfaatkan fenomena bonus demografi. Paling tidak dengan membuat kebijakan ekonomi yang mengarah ke investasi asing dengan prosedur yang lebih mudah untuk melakukan bisnis melalui reformasi regulasi, birokrasi, serta infrastruktur yang lebih baik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Harga Emas ANTAM: Detail Harga Terbaru Pada Minggu 28 April 2024

Harga Emas ANTAM: Detail Harga Terbaru Pada Minggu 28 April 2024

Spend Smart
Harga Emas Terbaru 28 April 2024 di Pegadaian

Harga Emas Terbaru 28 April 2024 di Pegadaian

Spend Smart
Investasi Aman, Apa Perbedaan SBSN dan SUN?

Investasi Aman, Apa Perbedaan SBSN dan SUN?

Work Smart
Harga Bahan Pokok Minggu 28 April 2024, Harga Daging Ayam Ras Naik

Harga Bahan Pokok Minggu 28 April 2024, Harga Daging Ayam Ras Naik

Whats New
SILO Layani Lebih dari 1 Juta Pasien pada Kuartal I 2024

SILO Layani Lebih dari 1 Juta Pasien pada Kuartal I 2024

Whats New
Bulog Diminta Lebih Optimal dalam Menyerap Gabah Petani

Bulog Diminta Lebih Optimal dalam Menyerap Gabah Petani

Whats New
Empat Emiten Bank Ini Bayar Dividen pada Pekan Depan

Empat Emiten Bank Ini Bayar Dividen pada Pekan Depan

Whats New
[POPULER MONEY] Sri Mulyani 'Ramal' Ekonomi RI Masih Positif | Genset Mati, Penumpang Argo Lawu Dapat Kompensasi 50 Persen Harga Tiket

[POPULER MONEY] Sri Mulyani "Ramal" Ekonomi RI Masih Positif | Genset Mati, Penumpang Argo Lawu Dapat Kompensasi 50 Persen Harga Tiket

Whats New
Ketahui, Pentingnya Memiliki Asuransi Kendaraan di Tengah Risiko Kecelakaan

Ketahui, Pentingnya Memiliki Asuransi Kendaraan di Tengah Risiko Kecelakaan

Spend Smart
Perlunya Mitigasi Saat Rupiah 'Undervalued'

Perlunya Mitigasi Saat Rupiah "Undervalued"

Whats New
Ramai Alat Belajar Siswa Tunanetra dari Luar Negeri Tertahan, Bea Cukai Beri Tanggapan

Ramai Alat Belajar Siswa Tunanetra dari Luar Negeri Tertahan, Bea Cukai Beri Tanggapan

Whats New
Sri Mulyani Jawab Viral Kasus Beli Sepatu Rp 10 Juta Kena Bea Masuk Rp 31 Juta

Sri Mulyani Jawab Viral Kasus Beli Sepatu Rp 10 Juta Kena Bea Masuk Rp 31 Juta

Whats New
Sri Mulyani Jelaskan Duduk Perkara Alat Belajar Tunanetra Milik SLB yang Ditahan Bea Cukai

Sri Mulyani Jelaskan Duduk Perkara Alat Belajar Tunanetra Milik SLB yang Ditahan Bea Cukai

Whats New
Apa Itu Reksadana Terproteksi? Ini Pengertian, Karakteristik, dan Risikonya

Apa Itu Reksadana Terproteksi? Ini Pengertian, Karakteristik, dan Risikonya

Work Smart
Cara Transfer BNI ke BRI lewat ATM dan Mobile Banking

Cara Transfer BNI ke BRI lewat ATM dan Mobile Banking

Spend Smart
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com