Setelah standar emas benar-benar dilepaskan, negara-negara mitra dagang Amerika lebih memilih memegang dollar AS, setelah London Conference yang alot.
Bagaimana mendapatkannya? Yakni dengan menukarkan emas yang mereka miliki dengan dollar AS. Tak pelak, The Fed ketiban emas dari berbagai penjuru.
Di dalam negeri, dollar AS kembali beredar luas, bahkan beredar lebih banyak. Harga-harga komoditas mulai naik perlahan karena transaksi mulai terjadi di satu sisi dan nilai dollar AS terdevaluasi di sisi lain karena supply-nya mulai berlimpah, sampai dollar AS kembali dikaitkan ke harga emas setara dengan 35 dollar AS per pounce, alias dollar AS terdevaluasi lebih dari 50 persen (sebelumnya 20 dollar AS per pounce).
Harga tersebut kemudian menjadi acuan pada perjanjian Bretton Wood pascaperang dunia kedua. Slogan singkat FDR terbayar sudah.
Kepercayaan diri masyarakat atas bank dan dollar AS pulih. Langkah awal New Deal berjalan mulus. Dan dari sisi ekonomi, Keynesian Revolution sedang dimulai. Ya, itulah kekuatan narasi yang dibangun atas visi yang juga kuat.
Sementara di sini, kita sempat menyaksikan Menteri Keuangan Sri Mulyani terkesan memilih menakut-nakuti publik.
Jadi tak salah jika pernyataan Pak Jusuf Kalla bahwa “pemerintah cq Sri Mulyani jangan menakuti-nakuti publik” sangat bisa dipahami, jika dikaitkan dengan cerita di atas. Apalagi situasinya berbeda secara fundamental.
Semakin sering Sri Mulyani mengatakan bahwa ekonomi Amerika memburuk, tanpa meyakinkan publik bahwa pemerintah memiliki rencana yang baik dan strategis, maka semakin banyak investor yang akan memindahkan asetnya ke safe heaven di luar negeri (capital outflow).
Memang aneh, tapi itulah kenyataanya. Karena dollar AS adalah hard currency, sementara rupiah tidak.
Jadi semakin dibangun persepsi negatif, semakin tinggi persepsi ketidakpastian, justru rupiah semakin ditinggalkan. Jadi wajar depresiasi rupiah cukup parah.
Dalam hemat saya, yang dibutuhkan saat ini adalah narasi tentang apa rencana Pemerintah untuk menghadapi situasi resesi global. Bukan hanya warning tak berujung.
Jika memang ada, maka sampaikan dengan narasi yang optimistis dan motivatif. Mari kita hadapi bersama-sama, karena kita bisa melewati ini, misalnya.
Namun harus diikuti action, bukan warning diikuti oleh warning, lalu oleh warning lagi.
Yang kedua, strateginya harus jelas dan masuk akal. Ketika Liz Truss menyampaikan pidato pertamanya sebagai PM Inggris, ia menjanjikan "Bold" Strategy dan Exit Plan.
Namun nyatanya isinya adalah "Tax Cut" dan ekspektasi atas "Trickel Down Effect" yang sudah lama pudar validitas resepnya.
Walhasil, krisis semakin menjadi-jadi di Inggris dan ia kemudian gagal meyakinkan perlemen. Truss menjadi PM dengan masa jabatan terpendek sepanjang sejarah Inggris.
Jadi saat strategi diambil, starteginya harus jelas dan rasional di satu sisi dan acceptable secara politik di sisi lain, dengan narasi yang menyemangati publik tentunya. Semoga.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.