Selain itu, teori psikologi lain yang penting dalam kepemimpinan adalah teori gaya kepemimpinan.
Teori ini menyatakan bahwa pemimpin memiliki gaya yang berbeda dalam memimpin, dan gaya tersebut dapat memengaruhi kinerja dan kepuasan pengikut.
Beberapa gaya kepemimpinan yang dikenal meliputi kepemimpinan otoriter, demokratis, laissez-faire, dan situasional.
Ini dibuktikan oleh beberapa riset terkini bagaimana dampak pemimpin memahami dan menguasai dirinya.
Myers-Briggs melakukan survei pada 2017 lalu tentang manfaat memahami diri sendiri. Dalam konteks organisasi, self-awareness memudahkan kita untuk: bekerja sama dengan orang lain (56,6 persen), mengatasi stress (54,07 persen), berperan sebagai coach (53,86 persen), menangani perubahan (47,18 persen), dan memimpin orang lain (41,75 persen).
Di atas itu semua, menjadi self-aware membuat kita jadi lebih present dan mindful terhadap orang-orang di sekitar kita.
Sikap seperti ini memengaruhi hubungan pemimpin dengan timnya. Orang-orang di timnya jadi lebih bersemangat dalam bekerja dan menciptakan rasa kepemilikan di organisasi.
Alhasil, timnya jadi lebih engage dengan pekerjaannya. Tim yang lebih engage dapat membawa organisasi melesat jauh.
Brach, et.al (2021) membuktikannya di mana kesadaran pemimpin membawa dampak positif pada munculnya kepemimpinan pada tim, sehingga membuatnya mendapatkan nominasi untuk promosi jabatan.
Kincentric pun melengkapinya. Riset yang dilakukan di tahun 2022 ini menemukan jika 82 persen pekerja akan lebih engage jika punya rasa kepemilikan di organisasinya dan 74 persen pekerja berkeinginan untuk bertahan di organisasi.
Sense of belonging ini penting karena kita sendiri membutuhkan kenyamanan dalam bekerja. Apalagi, sebagian besar waktu kita dialokasikan untuk bekerja.
Setidaknya, bagi pemimpin, membuat lingkungan yang nyaman pun sangat membantu psikologis timnya.
Ini yang disadari oleh Tony Fernandes, CEO dari AirAsia. Karena itu, Tony menerapkan cara kerja yang inklusif. Dia tidak memiliki ruangan sendiri layaknya pemimpin pada umumnya dan lebih memilih menyatu dengan timnya.
Tony melakukan ini agar timnya bisa dengan bebas berinteraksi dengannya dan mengeluarkan ide-ide briliannya.
Tony juga sadar bahwa pemimpin tidak tahu apapun, sehingga ia harus mendengarkan dari banyak pihak, khususnya timnya. Cara inilah yang membuat AirAsia menjadi maskapai penerbangan murah terbaik selama 13 tahun tahun berturut-turut (2009 - 2022).
Fitriyana, et.al (2022) melakukan penelitian terkait kepemimpinan Tony Fernandes di AirAsia. Hasil temuannya ialah Tony menerapkan pendekatan walk-the-talk dan berorientasi pada tim.
Dia mendengarkan timnya dan berkomitmen menumbuhkan timnya menjadi lebih baik agar tercipta lingkungan kerja yang nyaman. Ketika mengalami krisis, Tony langsung turun membantu timnya dan menunjukkan perasaan empati.
Pendekatan yang dilakukan Tony mampu membuat timnya merasa aman secara psikologis. Timnya tidak terintimidasi oleh kehadiran Tony di ruangan yang sama.
Justru, timnya menjadi lebih nyaman dan dekat dengan Tony, sehingga mereka dapat menyuarakan berbagai aspirasinya. Rasa kepemilikan timnya pun tumbuh terhadap AirAsia.
Singkatnya, Tony menunjukkan sikap baik yang diharapkan oleh seorang pemimpin. Kepemimpinan yang diperlihatkan Tony membuat timnya meningkat well-being-nya karena pemimpin menciptakan lingkungan yang inklusif dan kolaboratif.
Survei dari McKinsey tahun 2020 menemukan bahwa menjaga kesehatan fisik dan mental seseorang meningkatkan efektivitas kerja sebesar 21 persen, peningkatan keterlibatan karyawan sebesar 46 persen, dan peningkatan kesejahteraan sebesar 45 persen.
Kepemimpinan Tony di AirAsia membuat kita belajar banyak bagaimana self-awareness membantu pemimpin membangun tim dan organisasi.
Sedari awal, Tony mengetahui bahwa yang paling sulit dalam memimpin perusahaan adalah mempertahankan talenta terbaik. Oleh karena itu, Tony menerapkan cara kerja yang semaksimal mungkin membuat timnya nyaman dan merasa didengar.
Tony mungkin tidak sadar, tetapi cara kepemimpinannya sangat humanis, yang memanusiakan manusia. Kepemimpinan ini yang menjadi isu penting tahun 2023, di mana ada satu isu yang harus diselesaikan oleh pemimpin, yaitu well-being.
Well-being menjadi isu sentral bagi pekerja, terutama sejak pandemi. Peneliti Harvard pada tahun 2020 menemukan bahwa 85 persen responden kesejahteraannya menurun dan 56 persen mengatakan tuntutan kerjanya meningkat.
Adecco, salah satu lembaga konsultan di Swiss, juga menemukan bahwa selama pandemi, 81 persen pekerja mengalami tingkat stres yang sama atau lebih tinggi.
Walaupun suara sudah banyak diutarakan, tetapi upaya yang dilakukan pemimpin di organisasi belum intens. Bahkan, terdapat perbedaan persepsi antara pekerja dan pemimpin.
Adecco menemukan perbedaan itu, di mana risetnya pada 2022 menunjukkan bahwa 45 persen pekerja menganggap perusahaannya tidak mendukung kesejahteraannya, sedangkan 74 persen perusahaan mengatakan memastikan kesejahteraan pekerja adalah yang utama.
Studi Gartner 2022 menemukan hal yang menyedihkan, di mana hanya 29 persen yang menganggap pemimpinnya humanis.