Namun, perlu digaris bawahi petani di Indonesia mayoritas berskala kecil menengah, sehingga kenaikan harga beras hanya akan menguntungkan petani kaya, tidak bagi petani miskin.
Meski harga beras dapat meningkatkan harga gabah dan meningkatkan pendapatan petani, tetapi kenaikan harga beras juga dapat meningkatkan pengeluaran rumah tangga petani.
Ini merupakan dilema saat harga beras naik. Di satu sisi, kenaikan harga diperlukan untuk mendorong produksi beras yang dibutuhkan untuk menjaga ketahanan pangan.
Namun di sisi lain, kenaikan tersebut dapat meningkatkan kemiskinan, termasuk di kalangan petani padi itu sendiri.
Terbukti, sejalan dengan kenaikan harga beras dan harga pangan pokok lainnya yang dimulai pada Agustus tahun lalu, tingkat kemiskinan ikut meningkat.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada September 2022, tingkat kemiskinan mencapai 9,57 persen, naik tipis dari Maret 2022, yakni sebesar 9,54 persen.
Dalam teori ekonomi memang tidak ada pedoman yang jelas, apakah harga yang tinggi untuk komoditas pokok seperti beras berdampak baik atau buruk bagi masyarakat miskin.
Namun, bukti empiris dari berbagai riset menunjukkan bahwa harga beras yang tinggi merugikan sebagian besar rakyat Indonesia dan hanya menguntungkan segelintir orang.
Oleh karena itu, untuk menghindari rent-seeking impor beras, pemerintah harus menciptakan lingkungan kebijakan yang netral di mana harga domestik dijaga mendekati tingkat harga dunia dalam jangka panjang.
Hal ini akan memberikan sinyal harga yang tepat kepada petani tentang alokasi sumber daya untuk produksi beras, sambil memastikan bahwa mayoritas penduduk, termasuk sebagian besar penduduk miskin, tidak dirugikan oleh harga beras yang tidak natural.
Jika pemerintah ingin mengendalikan jumlah beras yang diimpor dengan menggunakan kuota dan izin, sekaligus berupaya menstabilkan harga, pemerintah perlu memiliki data produksi, konsumsi, dan stok yang akurat, termasuk prakiraan impor yang akurat.
Satu pelajaran yang dapat ditarik dari polemik pengelolaan beras adalah perlunya peningkatan kualitas data, termasuk menyesuaikan metodologi untuk estimasi produksi dan estimasi konsumsi oleh rumah tangga, industri, dan untuk kebutuhan lainnya.
Namun permasalahnya, setiap kementerian yang bersentuhan langsung dengan pengelolaan beras merasa paling benar dengan data yang mereka miliki. Sejauh ini belum terlihat upaya serius untuk menyatukan data tersebut.
Sehingga, wajar saja masih terjadi kesalahpaham dalam menerjemahkan kebutuhan impor beras. Jika pemerintah merancang kebijakan impor tanpa data dan estimasi yang akurat, maka pemerintah akan sangat mudah terjebak dalam populisme kebijakan yang sebenarnya sama sekali tidak tepat dalam mengendalikan harga beras nasional.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.