Dengan posisi dan peran Indonesia yang begitu strategis dalam pengendalian krisis iklim global, wajar apabila potensi ekonomi karbon dimanfaatkan untuk pembangunan ekonomi hijau Indonesia melalui pajak karbon dan perdagangan karbon.
Untuk pertama kali, emisi karbon dianggap berdampak negatif bagi lingkungan hidup karena itu perlu dikenai pajak.
Dalam UU Nomor 7/2021, pajak karbon disejajarkan dengan pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPn), dan cukai.
Subjek pajak karbon, yaitu orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.
Pajak karbon terutang atas pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu pada periode tertentu dan ditentukan pada saat, a) pembelian barang yang mengandung karbon; b) pada akhir periode tahun kalender dari aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu; atau c) saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Tarif pajak karbon ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga di pasar karbon per kilogram setara karbon dioksida.
Dalam penjelasan pasal 13 ayat 3 UU Nomor 7/2021, disebutkan bahwa tahun 2022-2024 mekanisme pajak berdasarkan pada batas emisi (cap and trade) untuk sektor pembangkit listrik terbatas pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara.
Sedangkan tahun 2025 dan seterusnya, pajak karbon mengikuti implementasi perdagangan karbon.
Bahana Sekuritas memperkirakan pendapatan pajak yang dihasilkan dapat mencapai Rp 26 triliun hingga Rp 53 triliun atau 0,2 persen hingga 0,3 persen Produk Domestik Bruto (PDB) dengan asumsi tarif pajak sekitar 5 - 10 dollar AS per ton CO2 yang mencakup 60 persen emisi energi.
Potensi pajak karbon yang begitu besar dapat digunakan untuk pendanaan pengendalian krisis iklim kedepan, khususnya penanganan deforestasi melalui kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) yang membutuhkan anggaran sangat besar.
Sayangnya, pemerintah menunda penerapan pajak karbon dua kali. Tadinya, pajak karbon akan berlaku 1 April 2022. Lalu diundur menjadi 1 Juli 2022.
Invasi Rusia ke Ukraina menjadi dalih bagi pemerintah menunda penerapan pajak karbon entah sampai kapan.
Perang Rusia-Ukraina membuat ekonomi jadi tak menentu karena pasokan energi dan pangan terganggu. Banyak aspek yang harus dikaji dalam penerapan pajak karbon.
Banyak kementerian atau lembaga yang terkait dengan aturan baru ini. Kementerian Keuangan akan memungut pajak, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral akan menetapkan batas emisi sektor energi.
Lalu ada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang mengatur perdagangan karbonnya. Implikasi paling serius dari penundaan pajak karbon adalah kemungkinan tidak tercapainya target penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia.
Pada dokumen nationally determined contribution (NDC) Indonesia akan menurunkan emisi sebesar 29 persen pada 2030. Sektor kehutanan akan menurunkan emisi paling besar, yakni 17,2 persen.
Perdagangan karbon merupakan salah satu instrumen menurunkan emisi gas rumah kaca penyebab krisis iklim.
Regulasi yang mengatur perdagangan atau transaksi karbon adalah Peraturan Presiden (Perpres) no. 98/2021 yang mengatur soal mekanisme perdagangan karbon dan Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) no. 21/2022 soal aturan teknis perdagangan karbon.
Dalam Peraturan 21/2022, emisi yang diperdagangkan adalah emisi gas rumah kaca yang dihitung dengan pengukuran yang disepakati.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya