Kondisi serupa terjadi di negara ekonomi maju lainnya dengan inflasi dan suku bunga bank sentral yang masih tinggi. Dana murah yang terbatas dalam rezim suku bunga tinggi, membuat likuiditas dalam sektor jasa keuangan mengalami kekeringan.
Kebangkrutan tiga bank di AS, yaitu Silicon Valley Bank (SVB), Signature Bank (SB), Silvergate Bank, dan kolapsnya Credit Suisse Bank yang berbasis di Swiss adalah fakta rapuhnya sektor keuangan saat ini di masa paceklik likuiditas.
Badai ketidakpastian global belum berakhir. Dalam kondisi makro global yang penuh risiko itulah, industri keuangan perlu dijaga. Peristiwa bank run yang terjadi di AS, meskipun eskalasinya sudah melandai, perlu dimaknai sebagai suatu fenomena rapuhnya kepercayaan publik pada resiliensi institusi keuangan di tengah kondisi ketidakpastian global.
Dalam konteks Indonesia, kondisi jangan diperparah lagi dengan berbagai fraud yang merusak kepercayaan publik pada lembaga keuangan sebagai darahnya ekonomi. Perbaikan tata kelola melalui good corporate governance (GCG) adalah kultur korporasi (corporate culture) yang diharapkan tumbuh dari dalam industri keuangan.
Rekomendasi ACFE tentang anti-fraud controls seperti external audit of internal controls over financial reporting, formal fraud risk assessments serta management review melalui fraud training for employees adalah rangkaian dari kultur korporasi berbasis GCG dalam rangka menekan praktek fraud dalam industri keuangan.
Di sektor fiskal, kini publik dihentakkan dengan temuan PPATK soal dugaan adanya fraud di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu). PPAT menyebut ada transaksi mencurigakan sebesar Rp 349 triliun di DJP dan DJBC.
Dua institusi itu selama ini menjadi backbone penerimaan negara. Lebih dari 70 persen penerimaan negara bersumber dari pajak dan kepabeanan. Itu artinya, sektor fiskal memainkan peran sentral sebagai tulang punggung pendanaan pembangunan.
Bila budaya tata kelola (governance culture) dalam institusi pajak memburuk, pemerintah sejatinya tengah menggali kubur bagi potensi penerimaan pajak. Selama dua tahun terakhir, penerimaan pajak selalu mencapai target dan melewati level pra-Covid-19. Realisasi pajak tahun 2021-2022 over target.
Namun realisasi pajak tersebut masih jauh dari potensi pajak. Hal tersebut tergambar dalam capaian rasio pajak terhadap PDB (tax ratio) yang masih rendah bila dibandingkan dengan era pemerintahan sebelumnya dan tax ratio negara-negara tetangga.
Dari sumber DJP-Kemenkeu, realisasi penerimaan perpajakan tahun 2022 mencapai Rp 2.034,5 triliun atau 114 persen dari target Perpres 98/2022 sebesar Rp 1.784 triliun. Angka itu tumbuh 31,4 persen dari realisasi pajak tahun 2021 sebesar Rp 1.547,8 triliun.
Dengan nilai moneter PDB tahun 2022 sebesar Rp 19.588 triliun, maka tax ratio Indonesia di tahun 2022 sebesar 10,3 persen.
Menurut penulis, capaian tax ratio itu belum menggembirakan, karena di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tax ratio Indonesia pernah mencapai 13,7 persen. Demikianpun negara-negara tetangga seperti Malaysia yang tax ratio-nya sudah di atas 13 persen di tahun 2022.
Bahkan, dalam catatan Organization of Economic Co-operation and Development (OECD), negara ASEAN dengan tax ratio tertinggi adalah Vietnam yakni 22,7 persen, kemudian Filipina (17,8 persen), Thailand (16,5 persen). Untuk menjadi negara maju, capaian tax ratio adalah kunci. Negara maju (OECD) memiliki rata-rata tax ratio di atas 30 persen, bahkan Swedia memiliki tax ratio 53 persen.
Tentu saja untuk menjadi negara maju, Indonesia masih “Jauh panggang dari api,” bila melihat tax ratio saat ini.
Dengan nilai moneter PDB Indonesia di tahun 2022 sebesar Rp 19.588 triliun, yang bisa dipajaki hanya 10,3 persen. Dengan pertumbuhan 5,3 persen di tahun 2023, maka nilai moneter PDB di tahun 2023 diperkirakan masih ± Rp 19,000 triliun.