Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Munir Sara
Tenaga Ahli Anggota DPR RI

Menyelesaiakan Pendidikan S2 dengan konsentrasi kebijakan publik dan saat ini bekerja sebagai tenaga Ahli Anggota DPR RI Komisi XI

Berbagai Kasus "Fraud" Membahayakan Ekonomi Indonesia

Kompas.com - 10/04/2023, 14:08 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Tentu saja kita boleh berimajinasi bahwa dengan capaian tax ratio di atas 15 persen, APBN kita akan meninggalkan rezim defisit. Keseimbangan primer akan surplus, karena penerimaan negara mampu meng-cover agregat belanja pemerintah.

Kita memasuki era baru APBN surplus! Ekspektasi ini bisa tercapai bila reformasi tata kelola institusi pajak berjalan dan bebas dari praktek fraud. Dengan capaian tax ratio saat ini, menggambarkan bahwa potensi objek pajak Indonesia berdasarkan ukuran ekonomi masih sangat besar.

Oleh sebab itu, inovasi dan perbaikan governance culture diperlukan agar penerimaan pajak bisa mendekati potensi obyek pajak.

Era new economy meniscayakan munculnya beragam sumber-sumber baru pertumbuhan ekonomi. Bersamaan dengannya sumber obyek pajak terbentuk, termasuk di dalamnya pajak karbon sebagai obyek pajak baru yang sejalan dengan pengarusutamaan ekonomi berkelanjutan.

Reformasi birokrasi di sektor perpajakan sangat diharapkan. Terobosan digitalisasi administrasi pajak inti atau core tax system harus mengalami akselerasi. Anggarannya sudah ada sejak 2019 sebesar Rp 2,9 triliun - bersifat multiyears hingga 2024, tetapi realisasinya masih lambat.

Pertumbuhan ekonomi digital dan skalanya terus meningkat. Jangan sampai inovasi core tax system lambat dan tak adaptif terhadap dinamika aktual perekonomian. Arah reformasi institusi pajak pun harus menyasar ke sektor-sektor yang selama ini memberikan kontribusi besar pada PDB, tapi sulit dipajaki (hard to tax), seperti sektor pertanian dan UMKM.

Setali tiga uang dengan sektor-sektor yang terkategori shadow economy. Shadow economy tidak hanya terkait kegiatan-kegiatan ekonomi ilegal seperti penyelundupan, perdagangan barang hasil curian, transaksi narkoba, perjudian, dan prostitusi, akan tetapi juga terkait pendapatan yang tidak dilaporkan dari kegiatan legal produksi barang dan jasa (Dahlan, 2020).

Kasus terbaru yang mendera DJP dan DJBC Kemenkeu adalah puncak dari praktek shadow economy. Semakin berkembangnya kegiatan shadow economy, tercipta pula kerugian negara berupa potensi pajak yang hilang.

Kegiatan shadow economy umumnya terlepas dari pengawasan otoritas pajak sehingga menghilangkan kewajiban membayar pajak dari para pelaku shadow economy yang menyebabkan kerugian negara (Samuda, 2016).

Reformasi tata kelola perpajakan dan kelembagaannya bergantung pada “moral dan etik birokrasi.” Etika birokrasi berisi ajaran-ajaran moral dan asas-asas kelakuan yang baik bagi aparatur dalam menunaikan tugas dan melakukan tindakan jabatan dalam kebijakan publik (Djaja, 2012).

Moralitas birokrasi sebagai landasan ideal yang membingkai budaya birokrasi dan tata kelolanya. Untuk mencapai budaya tata kelola institusi pajak baik dan bersih, maka moralitas birokrasi berjalan dalam kepastian sistem pengendalian internal lembaga.

Fraud yang terjadi dalam dua institusi; yang merupakan darah dan tulang punggung ekonomi, adalah impak dari lemahnya pengendalian dan pengawasan internal. Fraud di tubuh institusi pajak membuka diskusi baru bahwa sudah saatnya dipertimbangkan DJP terpisah dari Kemenkeu.

Secara kelembagaan, organisasi birokrasi Kemenkeu terlampau gemuk sehingga tidak optimalnya pengendalian serta pengawasan internal oleh Kemenkeu.

Selain itu, new economy yang terus bertumbuh dan mengalami diversifikasi, menuntut proses pengambilan kebijakan sektor pajak yang cepat dan adaptif. Selama DJP di bawah Kemenkeu, belenggu rantai birokrasi dalam pengambilan keputusan menjadi penghambat.

Benchmarking dalam tata kelola institusi pajak sudah ada. Negara-negara ekonomi maju seperti AS, Singapura, dan mayoritas negara berkembang sudah memisahkan lembaga pajak dari Kemenkeu-nya. Singapura misalnya, memiliki otoritas pajak semi-otonom bernama Inland Revenue Authority of Singapore (IRAS) atau AS dengan Internal Revenue Service (IRS).

Kendati lembaga pajaknya terpisah dari Kemenkeu, menteri keuangan tetap memiliki peran supervisi terhadap lembaga pajak. Dengan reformasi kelembagaan pajak serta digitalisasi terhadap administrasi inti pajak, kinerja pajak di negara-negara itu sudah mumpuni; yang tergambar dari capaian tax ratio-nya . Wajar bila capaian pajak melalui tax ratio sudah tinggi bila dibandingkan dengan Indonesia. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com