JUDUL tulisan sejatinya adalah satu slogan optimisme, untuk memotivasi setiap pemuda sehingga memiliki kemauan melahirkan produk sendiri yang punya diferensiasi dan nilai keekonomian.
Produk dari pemuda bisa apa saja, terutama adalah hasil inovasi dan kreativitas, atau yang dapat meningkatkan nilai tambah dari berbagai potensi sumber daya alam yang tersedia.
Upaya ke arah itu disebut entrepreneurship atau kewirausahaan. Yaitu kemampuan mengidentifikasi, mengembangkan dan membawa visi, berupa ide inovatif, ide menjual atau membuka peluang, hingga cara menjalankannya.
Ya, dengan muncul produk berupa barang, destinasi, maupun jasa dari kalangan anak muda, artinya telah lahir wirausaha atau entrepreneur baru. Sesuatu yang esensial mengingat jumlahnya di negara kita proporsinya belum begitu signifikan.
Sebagai negara dengan populasi penduduk paling besar di Asia Tenggara, proporsi jumlah wirausaha atau entrepreneur dari total jumlah penduduknya masih kalah dibanding sejumlah negara tetangga.
Indonesia menurut data Kementerian Koperasi dan UMKM tahun 2023 baru mencapai 3,47 persen. Sementara dari sejumlah data lainnya menunjukan rasio entrepreneur Singapura 8,76 persen, Malaysia 4,26 persen, dan Thailand 4,74 persen.
Sedangkan rata-rata rasio entrepreneur di negara-negara maju adalah 12 persen dari total jumlah penduduknya. Mempertegas bahwa entrepreneurship adalah tulang punggung inovasi, daya saing dan kemajuan suatu negara.
Adapun upaya untuk terus meningkatkan kuantitas maupun kualitas entrepreneurship atau kewirausahaan di Indonesia juga dikarenakan tiga realitas objektif.
Pertama, kondisi persaingan pasar bebas. Tak bisa dimungkiri, era pasar bebas saat ini memerlukan kemampuan inovasi dan daya saing di berbagai sektor.
Dengan lahir dan tumbuhnya para wirausaha atau entrepreneur muda, selain pasar domestik dapat dimanfaatkan dengan optimal, tapi juga untuk melakukan ekspansi ke negara lain.
Sesuatu yang penting, mengingat Indonesia ada dalam free trade agreement dengan sejumlah negara, yang memungkinkan negara-negara di dalam perjanjian itu meleburkan batas teritorial, menyatu dalam pasar bersama.
Konsekuensinya, arus barang dan jasa yang bebas merupakan kemestian. Selain itu, negara-negara atau kawasan dalam perjanjian dagang juga membebaskan arus investasi, modal dan tenaga terampil.
Kenyataan ini membutuhkan kemampuan bangsa kita untuk terus adaptif, bila tak mau hanya sekadar atau terus menjadi pasar potensial negara lain, bahkan menjadi penonton.
Lahirnya entrepreneurs handal, selain krusial dalam persaingan antarnegara atau kawasan, pada konteks lebih jauh, akan memberikan kontribusi positif bagi penerimaan devisa negara, seiring meningkatnya neraca ekspor terhadap nilai impor.
Kedua, memaksimalkan pengelolaan potensi daerah. Dengan semakin meningkatnya jumlah entrepreneur, berbagai potensi di daerah yang sebelumnya cenderung diabaikan, akan menjadi terkelola dengan optimal.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.