Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Anggito Abimanyu
Dosen UGM

Dosen Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ketua Departemen Ekonomi dan Bisnis, Sekolah Vokasi UGM. Ketua Bidang Organisasi, Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia

Dilema Program Hilirisasi

Kompas.com - 05/06/2023, 06:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Hilirisasi energi

Kedua, hilirisasi energi dengan fokus pada pengolahan dan nilai tambah pada sektor energi. Hal ini dilakukan dengan mengalihkan fokus dari hanya menjadi eksportir sumber daya energi mentah, seperti minyak bumi atau gas alam, batu bara, pertambangan seperti nikel, copper, tembaga, timah dan lain-lain, menjadi produk manufaktur turunannya.

Contoh dari hilirisasi energi adalah transformasi sektor minyak dan gas alam. Sebagai contoh, negara-negara yang memiliki cadangan minyak dan gas alam yang besar dapat mengembangkan industri pengolahan dan petrokimia untuk menghasilkan produk seperti bahan bakar bermutu tinggi, bahan kimia, plastik, dan produk turunannya.

Hilirisasi di sektor minyak di Indonesia sudah sulit dilaksanakan dalam jumlah besar karena selama puluhan tahun, sistem minyak kita menganut kotrak production sharing dengan investor.

Investor dapat kontrak, lalu eksplorasi dan diekspor. Untuk kebutuhan dalam negeri, baik minyak mentah atu turunannya, Indonesia harus impor.

Dalam konteks global, hilirisasi energi menjadi semakin penting dalam upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan mengatasi perubahan iklim.

Dengan memprioritaskan pengembangan industri energi yang lebih maju dan ramah lingkungan, negara-negara dapat berperan aktif dalam transisi menuju sistem energi yang lebih berkelanjutan dan rendah karbon.

Tantangan hilirisasi energi lebih berat lagi. Pertama, hilirisasi energi turunannya cukup banyak, membutuhkan teknologi dan infrastruktur yang canggih.

Kedua, ketergantungan pada ekspor energi mentah, seperti minyak bumi, batu bara, gas alam, dan pertambangan umum.

Ketiga, hilirisasi energi membutuhkan investasi yang signifikan dengan risiko tinggi. Kurangnya modal atau akses ke sumber daya keuangan dapat menjadi kendala dalam melaksanakan program hilirisasi energi yang efektif.

Keempat, pengolahan energi dan produksi produk energi yang lebih maju sering kali melibatkan dampak lingkungan yang signifikan. Contohnya, industri petrokimia dapat menghasilkan limbah berbahaya dan emisi gas rumah kaca. 

Kelima, hilirisasi energi dapat mengubah struktur pasar dalam sektor energi. Ini dapat mengakibatkan pergeseran kekuatan dan mungkin mengganggu pemangku kepentingan yang ada.

Saat ini sedang diperbincangkan hilirisasi nikel di Indonesia, potensinya (sangat) besar, tetapi masalahnya juga sama besarnya.

Pertama, Indonesia adalah salah satu eksportir nikel mentah terbesar di dunia. Meskipun ada upaya untuk mengembangkan industri hilirisasi nikel, tetapi negara ini masih sangat bergantung pada ekspor nikel mentah.

Kedua, hilirisasi nikel membutuhkan modal, infrastruktur dan teknologi canggih. Saat ini Pengolahan nikel di dalam negeri masih terbatas, seperti produk nikel pig iron dan feronikel.

Karena tidak ada kemampuan pengolahan lebih lanjut, maka langsung diekspor ke China. Negara itu kemudian mengolah menjadi produk jadi seperti baterai.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com