Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Anggito Abimanyu
Dosen UGM

Dosen Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ketua Departemen Ekonomi dan Bisnis, Sekolah Vokasi UGM. Ketua Bidang Organisasi, Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia

Dilema Program Hilirisasi

Kompas.com - 05/06/2023, 06:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

UNTUK meningkatkan nilai tambah ekonomi, Indonesia sedang menggagas program hilirisasi. Hilirisasi adalah proses transformasi dari tahap produksi bahan mentah atau komoditas menjadi tahap produksi produk jadi atau barang jadi dengan nilai tambah lebih tinggi.

Dalam konteks ekonomi, hilirisasi diperlukan untuk mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah atau komoditas serta meningkatkan kemampuan suatu negara atau wilayah dalam menghasilkan produk bernilai tambah tinggi.

Hilirisasi melibatkan penambahan nilai melalui berbagai tahap produksi dan pengolahan, seperti manufaktur, pengemasan, distribusi, dan pemasaran produk.

Dengan demikian, hilirisasi berkontribusi terhadap penciptaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan, dan pembangunan industri yang berkelanjutan.

Hilirisasi bukannya tanpa masalah. Pertama butuh modal besar untuk membangun perusahaan manufakturing. Kedua, butuh teknologi yang lumayan canggih untuk mengolah.

Ketiga, kehilangan memperoleh devisa hasil ekspor yang cepat dan lukuid. Keempat, memastikan keberadaan bahan baku pasokan hulu.

Dua komoditi yang sedang digarap adalah hilirasi pangan dan energi. Salah satu contoh hilirisasi adalah industri minyak sawit di Indonesia.

Sebagai salah satu produsen terbesar minyak sawit mentah di dunia, Indonesia berupaya untuk mengembangkan industri pengolahan minyak sawit menjadi produk jadi seperti minyak goreng, margarin, sabun, biodiesel, dan produk turunannya.

Dengan melalui tahap-tahap produksi ini, nilai tambah yang dihasilkan lebih tinggi daripada hanya menjual minyak sawit mentah.

Masalah yang timbul klasik selalu terjadi. Pertama, ketergantungan pada ekspor CPO: Indonesia masih sangat bergantung pada ekspor CPO sebagai sumber pendapatan utama dari industri kelapa sawit.

Hal ini mengakibatkan kerentanan terhadap fluktuasi harga pasar global dan meningkatkan risiko ekonomi ketika harga CPO turun.

Rendahnya kapasitas pemrosesan dalam negeri: Meskipun Indonesia merupakan produsen terbesar kelapa sawit, kapasitas pabrik pengolahan dalam negeri untuk menghasilkan produk turunan sawit masih terbatas.

Kurangnya pengetahuan dan keterampilan industri: Kurangnya pengetahuan dan keterampilan ini menjadi hambatan bagi perusahaan untuk mengembangkan produk turunan kelapa sawit dengan nilai tambah tinggi.

Keterbatasan dukungan infrastruktur: Banyak daerah di Indonesia, terutama di daerah pedesaan yang merupakan pusat produksi kelapa sawit, masih menghadapi keterbatasan infrastruktur memadai.

Isu lingkungan: Dalam menghilirkan industri sawit, penting untuk memperhatikan praktik berkelanjutan yang melibatkan perlindungan lingkungan dan konservasi sumber daya alam.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com