Penyebab siklus jangka menengah ini ditengarai ada beberapa, antara lain: faktor bintik matahari (sun spot) yang berulang setiap 11 tahun sekali dan memengaruhi iklim dan produktivitas manusia serta pertanian dalam arti luas.
Sebab lain adalah naik-turunnya penggunaan modal tetap dalam dunia bisnis.
Ketiga, siklus jangka panjang. Siklus ini berjalan 48 tahun-60 tahun. Siklus ini ditemukan oleh Nicolai Kondratiev, seorang ekonom Rusia dan penggagas serta pendukung Kebijakan Ekonomi Baru (New Economic Policy atau NEP) Uni Sovyet.
Gagasan tentang siklus ekonomi jangka panjang tersebut ditulisnya pada 1935, dalam artikel berjudul “Gelombang Panjang Dalam Kehidupan Ekonomi”.
Penyebab utama siklus ekonomi jangka panjang adalah adanya perubahan atau kemajuan teknologi.
Seperti halnya kehidupan manusia yang naik turun, maka siklus ekonomi adalah sesuatu yang wajar. Hanya saja periode siklusnya yang bisa berbeda untuk tiap negara dan berbeda tiap masanya.
Jika Perry Warjiyo mengatakan bahwa sekarang periode siklus ekonomi dan keuangan sekitar dua atau tiga tahunan, maka berarti negara-negara di dunia akan mengalami siklus ekonomi dan keuangan jangka pendek atau siklus Kitchin.
Oleh karena itu, dibutuhkan kebijakan mengantisipasi terjadinya siklus jangka pendek tersebut, khususnya ketika kegiatan ekonomi yang diukur dengan pertumbuhan ekonomi mulai menurun pada 2026.
Sebenarnya BI sekarang ini sudah mengantisipasi siklus atau fluktuasi kegiatan ekonomi dan keuangan dengan kebijakan makro-prudensial.
Tujuan kebijakan makro-prudensial adalah sebagai antisiklus agar stabilitas sistem keuangan terjaga. Dengan demikian, stabilitas ekonomi pada umumnya terjaga.
Kebijakan makro-prudensial lahir dari pengalaman krisis-krisis ekonomi yang terjadi (misalnya, krisis ekonomi Indonesia 1997 dan krisis keuangaan AS 2008).
Dari pengalaman krisis tersebut disimpulkan bahwa perilaku sektor keuangan adalah pro kepada siklus.
Contohnya ketika ekonomi pada posisi puncak (boom), maka timbul optimisme berlebihan pada sektor keuangan berupa pemberian kredit berlebihan.
Namun ketika ekonomi memburuk, timbul pesimistis berlebihan dengan kontraksi pemberian kredit yang berlebihan. Hal ini akan menimbulkan krisis di sektor keuangan khususnya dan ekonomi pada umumnya.
Setelah terjadi krisis, maka ternyata biaya untuk menangani krisis sangat besar. Biaya yang dikeluarkan Indonesia untuk menangani krisis ekonomi 1997/1998 mencapai 51 persen dari Pendapatan Nasional (PDB) kita.