Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Transformasi Pelindo Dinilai Bisa Tekan Biaya Logistik di Indonesia Timur

Kompas.com - 13/10/2023, 09:00 WIB
Kiki Safitri,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Dua tahun sejak merger, Pelindo ikut serta menurunkan biaya logistik dengan mentransformasi sejumlah pelabuhan dan terminal, termasuk di Indonesia Timur. Salah satu penyebab masih tingginya biaya logistik nasional adalah karena ketimpangan antara Indonesia Timur dan Indonesia Barat.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada pertengahan September lalu meluncurkan perhitungan baru yang menghasilkan biaya logistik nasional 2022 sebesar 14,29 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga mengatakan, biaya logistik nasional 2022 tersebut masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya logistik untuk kegiatan impor Indonesia 2022 yang sudah mencapai angka 8,98 persen. Pemerintah sendiri menargetkan biaya logistik nasional sebesar sembilan persen pada 2045.

Baca juga: Jarang Disadari, “Bocor Alus” Biaya Logistik Berikut Dapat Bebani Perusahaan

Sementara itu, arus barang tidak seimbang antara Indonesia Timur dan Indonesia Barat. Hal ini bisa dilihat dari utilisasi pelabuhan di kedua wilayah. Pelabuhan Tanjung Priok memiliki utilisasi sampai 90 persen, Tanjung Emas (Semarang) sebesar 95 persen, dan Tanjung Perak (Surabaya) sekitar 87 persen.

“Utilisasi pelabuhan-pelabuhan di kawasan Indonesia Timur rata-rata masih di bawah 50 persen. Utilisasi Pelabuhan Soekarno-Hatta di Makassar yang tertinggi di Indonesia Timur pun masih di kisaran 60 persen,” kata Airlangga dalam acara “Era Baru Biaya Logistik untuk Indonesia Emas 2045”, beberapa waktu lalu.

“Pembangungan dan industrialisasi harus merata agar barang bergerak seimbang dari barat ke timur dan sebaliknya dari timur ke barat. Ini yang harus kita kerjakan,” tambah dia.

Baca juga: Waktu Bongkar Muat Diklaim Semakin Cepat, tapi Biaya Logistik Masih Mahal

Direktur PT Pelindo Terminal Peti Kemas, Muhammad Adji mengungkapkan, pada 2020, tujuh pelabuhan strategis di Indonesia Timur (Bitung, Makassar, Biak, Ambon, Sorong, Jayapura, dan Kupang) membongkar 13,8 juta ton barang pada pelayaran domestik, tapi hanya memuat 6,2 juta ton barang. Hal itu menunjukkan adanya ketimpangan.

“Sekembalinya dari timur, kapal-kapal yang datang dari Jakarta atau Surabaya hanya terisi 30 persen atau bahkan kosong,” katanya.

Biaya logistik nasional memiliki dampak pada disparitas harga barang kebutuhan pokok. Misalkan saja, harga daging ayam yang bervariasi antara Rp 28.000 hingga Rp 48.000 per kilogram. Dengan logistic cost yang rendah, disparitas tidak akan terjadi. Apalagi, biaya logistik memiliki dampak yang luas.

Baca juga: Bappenas: Dalam 5 Tahun Terakhir, Biaya Logistik RI Turun 40 Persen  

 


Kepala Pelindo Regional 4 Enriany Muis mengatakan, tranformasi di wilayahnya dilakukan di 13 pelabuhan dan terminal. Hasilnya, produktifitas bongkar muat di Terminal Peti Kemas (TPK) Makassar dan TPK Ambon meningkat dari rata-rata 35 boks per jam per kapal menjadi rata-rata 50 boks per jam per kapal, sehingga port stay kapal di tambatan menjadi satu hari. Sebelumnya, rata-rata masih dua hari.

“Peningkatan produktifitas bongkar muat juga terjadi pada kegiatan curah kering di Pelabuhan Makassar, seperti bongkaran 40.000 ton yang semula 12-13 hari sekarang menjadi hanya enam hari. Makassar kini memiliki tiga HMC (Harbour Mobile Crane). Kami juga telah membuka trafic flow baru untuk kegiatan curah, yakni dengan menggunakan akses Gate 4 pada Terminal Peti Kemas 1 Makassar,” jelas Enriany.

Baca juga: Optimalkan Kinerja dan Pelayanan, Pelindo Terminal Petikemas Jalankan 4 Tahap Transformasi Operasional

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com