Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Aprilianto Satria Pratama
Kepala Divisi Politik dan Otonomi Daerah Swasaba Research Initiative

Peneliti | Political Enthusiast | Kolumnis

Peran Parpol bagi Pertanian dan Kemiskinan

Kompas.com - 25/10/2023, 08:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Aprilianto Satria Pratama dan Nuri Taufiq*

RANCANGAN akhir Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang telah diluncurkan pada 15 Juni 2023 lalu, menunjukkan Pemerintah Republik Indonesia, khususnya Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), ingin agar angka kemiskinan berada di kisaran 0,5 persen - 0,8 persen pada 2045.

Penentuan target tersebut, boleh jadi merupakan respons atas posisi kemiskinan yang, disarikan dari berbagai sumber, masih menjadi persoalan mendasar di Indonesia hingga hari ini.

Badan Pusat Statistik (BPS) pada Juli 2023 lalu, lantas memberi konfirmasi kuantitatif atas situasi tersebut dengan menyampaikan bahwa 9,36 persen penduduk Indonesia, yang berarti setara dengan 25,90 juta orang, masih hidup di dalam kemiskinan.

Konsekuensinya, target menuju angka kemiskinan rendah pada 2045 jadi tidak mudah untuk diwujudkan.

Apalagi dalam satu dekade terakhir, yaitu dari 2013 hingga 2023, angka kemiskinan di Indonesia hanya turun 2 persen poin dari 11,36 persen menjadi 9,36 persen atau setara dengan 2,27 juta penduduk saja.

Padahal, pada periode satu dekade sebelumnya (2003 ke 2013), angka kemiskinan di Indonesia turun lebih signifikan, yaitu sebesar 6,06 persen poin dari 17,42 persen menjadi 11,36 persen atau sama dengan 9,13 juta penduduk.

Kemiskinan di Indonesia telah menyentuh kategori paling bawah (hardcore) karena prosentasenya yang mencapai kurang dari 10 persen.

Oleh karenanya, dalam upaya untuk mencapai target 0,5 persen-0,8 persen pada 2045, penting bagi Pemerintah untuk terlebih dulu mengenali tipikal masyarakat yang berada di dalamnya.

Besar harapan, melalui profiling yang dilakukan secara saksama, Pemerintah jadi mampu dan mau merumuskan arah kebijakan yang bukan hanya extraordinary, melainkan juga tepat sasaran.

Kunci sektor pertanian

Publikasi Statistik Indonesia 2023 yang dirilis oleh BPS beberapa bulan lalu, menyampaikan bahwa ternyata hampir 90 persen kepala rumah tangga miskin di dalam negeri berstatus bekerja, alih-alih menganggur.

Data tersebut memberi insight kepada publik bahwa pendapatan utama rumah tangga miskin di Indonesia sudah demikian problematik dari sumbernya: mereka bekerja, namun pendapatan yang diperoleh belum mampu mengeluarkan mereka dari kemiskinan.

Tak cukup sampai di situ. Jika diteliti secara lebih mendalam, ternyata hampir separuh dari seluruh kepala rumah tangga miskin yang bekerja tersebut (49,89 persen) menggantungkan sumber pendapatan primernya dari sektor pertanian.

Hanya saja, besar kemungkinan, petani di sini merujuk pada status ‘petani kecil’ alias gurem.

Pemahaman tersebut berangkat dari data The Food and Agriculture Organization (FAO) pada 2021 yang memperkirakan 73,10 persen rumah tangga pertanian pedesaan adalah petani kecil dan 60,30 persennya hidup dalam kemiskinan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com