Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kampung Batik Laweyan yang Menolak Terlindas Roda Zaman

Kompas.com - 03/01/2024, 05:00 WIB
Kiki Safitri,
Yoga Sukmana

Tim Redaksi

Kompas.com berkesempatan ngobrol singkat dengan salah satu pembatik tunarungu, sebut saja namanya Budi (bukan nama asli). Budi mengaku sangat senang membuat batik, meskipun sedikit sulit.

“Dari awal sampai jadi, prosesnya 1 minggu, lumayan sulit,” kata dia.

“Kalau abstrak lebih mudah daripada yang tradisional. Tradisional memang sudah ada motifnya,” sambungnya dia.

Budi berharap dengan membatik yang sudah ia jalani selama 3 tahun, dapat memberikan kemudahan untuk mendirikan usaha batik di rumahnya suatu hari nanti.

“Sudah 3 tahun membatik, suka membatik supaya belajar saja dan ingin buka usaha batik di rumah,” kata dia.

Eko mengatakan, pihaknya juga turut mendorong agar para pekerja dengan keterbatasan fisik dapat mandiri melalui industri batik. Eko bilang, membatik memiliki tingkat pendapatan yang tidak kalah dengan pekerja kantoran, selama tekun, rajin, dan mampu memanfaatkan potensi yang ada.

“Kita juga menyiapkan mereka (pecanting bisu tuli) untuk mandiri dan bisa usaha sendiri,” ungkap dia.

Eko menjelaskan, bagi pecanting dengan jam kerja tinggi, produksi batik yang bisa dihasilkan di Batik Mahkota per minggu ada 6-7 kain berukuran 2,4 meter x 2 meter. Sementara untuk pecanting bisu tuli mampu menghasilkan produksi 2-3 kain per minggu

“Harga (jual) batik canting itu sekitar Rp 800.000 per kain. Hasil penjualannya per item dihargai Rp 225.000-Rp 250.000 per kain,” kata dia.

Bayangkan saja, jika pecanting difabel mampu memproduksi dan menjual kain batik canting 1 buah dalam seminggu, artinya mereka bisa memperoleh pemasukan sekitar Rp 575.000 hingga Rp 550.000.

Jika dalam sebulan hasil batik mereka terjual 4 buah, pendapatan mereka per bulan bisa mencapai Rp 2,2 juta hingga Rp 2,3 juta. Tentunya nilai tersebut sudah sangat mencukupi untuk kebutuhan hidup di Solo, mengingat biaya hidupnya juga murah.

Baca juga: Cerita Pengusaha Batik Ecoprint Bertahan di Tengah Pandemi Covid-19

Harapan keberlanjutan

Selain itu, Febela Priyatmono menilai, penting untuk memberikan nilai tambah dalam usaha batik sehingga tidak hanya menguntungkan bagi pembatik, tapi juga melestarikan alam.

“Upaya kami dengan masyarakat Laweyan untuk melestarikan batik adalah mewujudkan industri bersih yang ramah lingkungan,” jelas dia.

Febela Priyatmono mengatakan pihaknya pada 2007 pertama kali membangun instalasi pengolahan limbah komunal. Hal ini adalah gerakan yang terus menerus dan sampai sekarang.

“Kami juga kerja sama dengan BRIN untuk pemanfaatan tanaman untuk ikut mengurangi pencemaran, serta dengan RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) melalui pemanfaatan lilin sawit, dan juga dengan IndiHome melalaui kampung digital,” kata dia.

Febela Priyatmono menambahkan, sebagai salah satu kota yang dikenal dengan industri batik, tentu juga harus memiliki identitas. Salah satunya dengan mewujudkan Kota Solo sebagai pusatnya batik ramah lingkungan Indonesia.

“Tidak hanya batik motif filosofi saja, bersama dengan anak muda kami melakukan kegiatan, salah satunya kami kerja sama dengan beberapa perguruan tinggi untuk mewujudkan eco-fashion for milenial,” ujarnya.

Baca juga: Menperin: Ekspor Batik Justru Meningkat di Masa Pandemi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com