“Kami mengalami hantaman yang luar biasa pada saat pandemi Covid-19. Kami tergabung di Asosiasi Industri Batik Indonesia, itu pernah ada riset bahwa 80 persen baik tenaga kerja, income, kolaps ya. Tapi setelah itu ada kenaikan lagi dan alhamdulilah sekarang itu, di samping online dan itu semua jalan,” tambah Febela Priyatmono.
Baca juga: Saat Iriana Jokowi Ajak Pendamping Kepala Negara G20 Saksikan Batik sampai Gamelan Bambu
Menyambung perkataan Febela Priyatmono, Kepala Marketing Batik Mahkota Laweyan Eko Margianto menilai, adanya industri berkonsep baru sempat menjadi hambatan bagi industri batik tradisional. Seiring perkembangan zaman yang serba cepat, konsep patik berubah menjadi motif produk tekstil.
“Terjadi pergeseran konsep batik, di mana desainnya adalah batik, tapi pembuatannya tidak sesuai dengan yang seharusnya, yakni batik tulis atau cap,” jelas Eko.
Eko merinci, batik tulis memiliki proses yang cukup lama dari kain putih, digambar, lalu dicanting, dan diwarnai, bisa sampai 2-3 minggu yang sederhana saja. Apalagi model batik tradisional yang unik, rumit, dan kompleks bisa makan waktu 3-6 bulan untuk 1 produk.
Eko menjelaskan, lamanya proses pembuatan batik menjadikan harganya juga tidak murah. Hal inilah yang kemudian menghambat daya beli masyarakat.
“Masyarakat pada saat itu, tingkat daya belinya sangat kurang, jadi pilihnya produk yang tiruan, yang pentingkan motifnya batik, diproses masif, pabrikasi dan modern,” ungkap Eko.
Di Solo, pergeseran konsep batik terjadi sekitar tahun 1980-an. Hal ini diperparah dengan hadirnya perusahaan-perusahaan tekstil besar yang memproduksi produk tekstil bermotif batik.
“Lambat laun, selama dua dekade atau sekitar 20 tahunan tutup tidak ada aktivitas, tidak cuma sini, tapi seluruhnya,” kata Eko.
Baca juga: Kisah Sukses Euis Rohaini, Raup Omzet Ratusan Juta dari Bisnis Batik dan Kerajinan
Meski sempat mati suri, Kampung Batik Laweyan kini sudah bangkit dan bahkan sudah jadi kampung edukasi. Kampung tersebut seolah tak mau terlindas roda zaman. Salah satunya lewat upaya mengenalkan proses membatik kepada anak-anak muda.
Saat saya berkunjung ke kampung tersebut, tepatnya di Batik Mahkota Laweyan, Eko mengajak saya ke salah satu ruangan yang berisi banyak kain batik yang dipajang. Di sana, ada kain yang dipajang sekitar lebih dari 5 meter.
Eko mengatakan, kain batik yang dipajang itu menceritakan cara membuat batik secara tradisional.
Ia mengatakan, banyak pelajar dan mahasiswa datang untuk belajar di Batik Mahkota Laweyan. Lewat grafis tersebut, pelajar dan mahasiswa lebih mudah untuk memahami cara dan proses membatik.
"Kita didukung sama dunia pendidikan, yang mengharuskan muatan lokal itu masuk dalam kurikulum, banyak rombongan anak-anak play group, SMA, dan perguruan tinggi. Biayanya fleksibel, per anak itu sekitar Rp 60.000-an, kalau untuk bule lebih dari Rp 100.000,” ungkap Eko, Rabu (27/12/2023).
Eko mengatakan, hampir semua UMKM di Laweyan dan sekitarnya turun temurun merupakan pengrajin batik. Sebelum adanya Batik Mahkota, berdasarkan bukti-bukti tertulis seperti surat dan nota, industri batik yang berdiri sejak 1942 adalah Batik Puspowidjoto. Usaha tersebut berkembang hingga era 1990-an.
Eko bilang, industri batik sudah mengalami tekanan sejak Eks Karesidenan Surakarta (wilayah yang dibentuk di masa kolonial Belanda). Hal itu berdampak pada industri batik, tidak hanya pada Batik Puspowidjoto saja, tapi hampir seluruh industri batik saat itu di Karesidenan Surakarta, termasuk Laweyan, Sragen, Sukoharjo, dan Klaten.
“Di Eks Karesidenan Surakarta itu ada sekitar 300-an lebih industri batik yang terdampak salah satunya di sini. Era tahun 2004 kita bangkit lagi dengan dimulainya FPKBL. Diawali oleh 9-10 perusahaan, Batik Mahkota, berdiri lagi pada tahun 2006, dan saat itu juga Batik Puspowidjoto berubah menjadi Batik Mahkota sampai saat ini,” ungkap Eko.
Eko mengatkan, Batik Mahkota secara khusus setiap hari memproses batik dengan teknik batik tulis. Tapi tidak menutup kemungkinan, pihaknya tetap menerima pesanan batik cap.
Baca juga: Kisah Sukses Batik Abstrak Murni Asih
Selain itu, Kampung Batik Laweyan juga mempersiapkan generasi muda khususnya pecanting bisu tuli melalui program yang digagas anak usaha Batik Mahkota, yakni Batik Toeli.
Batik Mahkota juga menyiapkan lahan yang dekat dengan Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) untuk dijadikan lokasi edukasi dan produksi untuk pewarnaan alami batik.