Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Udin Suchaini
ASN di Badan Pusat Statistik

Praktisi Statistik Bidang Pembangunan Desa

Takjil: Memacu Pendapatan Tambahan dari Usaha Sampingan

Kompas.com - 03/04/2024, 16:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PEDAGANG takjil yang bermunculan setiap Ramadhan seakan memberi penegasan bahwa masyarakat hanya perlu diberi peluang untuk mendapatkan pendapatan tambahan.

Apalagi, beredarnya Tunjangan Hari Raya (THR) yang tak dinikmati seluruh pekerja, sebagian menggantungkan peluang untuk mencari usaha sampingan. Tak heran setiap Ramadhan, penjual takjil menjamur di pusat kuliner hingga di gang-gang perumahan.

Bukan penikmat THR

Lebaran ini, tidak semua orang yang bekerja mendapat THR. Menurut hasil rilis Badan Pusat Statistik (BPS) (6/11/2023), meskipun ada 69,48 persen atau 139,85 juta orang partisipasi angkatan kerja, THR berpotensi hanya diberikan pada kurang dari 37,68 persen penduduk yang memiliki status buruh, karyawan, pegawai.

Sehingga masih banyak orang yang bekerja, tapi bukan penikmat THR. Salah satu narasi yang beredar di media adalah pengemudi ojek online yang tidak mendapat THR karena statusnya mitra aplikasi, padahal jumlahnya sangat banyak.

Menurut laporan tahunan Gojek, mitra pengemudi yang terdaftar per 31 Desember 2022 sebanyak 2,7 juta mitra.

Sementara, menilik aturan yang tertuang pada Surat Edaran (SE) Nomor M/2/HK.04/III/2024 dikeluarkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan, THR diberikan kepada pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 1 bulan secara terus menerus atau lebih, baik yang mempunyai hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT), perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), termasuk pekerja/buruh harian lepas yang memenuhi persyaratan sesuai peraturan perundang-undangan.

Selain mitra Gojek, masih ada pihak yang tidak mendapatkan THR, di antaranya 59,11 persen pekerja informal, 23,03 persen penduduk yang berusaha sendiri, 14,15 persen berusaha dibantu buruh tidak tetap, 12,93 persen pekerja keluarga/tidak dibayar, dan sisanya pekerja bebas.

Padahal, setiap menjelang Lebaran selalu terjadi meningkatan kebutuhan. Sementara di saat yang sama, meningkatnya permintaan menu berbuka puasa, juga membuka peluang usaha sampingan bagi siapa saja yang menginginkan tambahan pendapatan.

Usaha sampingan

Usaha sampingan menjadi salah satu langkah peningkatan kesejahteraan bagi tenaga kerja informal.

Bagi pekerja dengan pendapatan rendah, usaha sampingan mampu menjadi penyeimbang pemenuhan ekonomi setiap keluarga.

Bahkan, tren pekerjaan sampingan atau yang sering disebut side hustle di Indonesia terus meningkat dalam tiga tahun ke belakang.

Sebagai gambaran dari Publikasi Cerita Data Statistik Untuk Indonesia edisi 2024.01 yang dikeluarkan BPS, ada 15,45 persen pekerja memiliki kerjaan sampingan.

Sebarannya, 44 persen di antaranya memiliki pekerjaan utama pada sektor pertanian, 44 persen pada sektor jasa, dan sisanya pekerjaan utamanya berada pada sektor manufaktur.

Dampaknya, pekerja yang punya sampingan tentu saja bakal memiliki jam kerja yang cukup panjang, melebihi 40 jam. Jam bekerja ini sesuai standar Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Sementara, ILO pada rilisnya Multiple Job Holding tahun 2004 mengungkapkan, meski kerja sampingan memberi pekerja penghasilan tambahan, namun berdampak negatif bagi kesehatan.

Meskipun realitanya, pekerjaan sampingan mampu mengamankan pengeluaran keluarga dari pendapatan yang tak seimbang dengan pengeluaran sehari-hari. Sementara bagi keluarga yang berkecukupan tentu mampu meningkatkan kesejahteraan.

Sayangnya, penduduk yang memiliki usaha sampingan ada di kantong kemiskinan. Pekerja di daerah perdesaan yang memiliki pekerjaan sampingan sebanyak 21,6 persen, sementara di perkotaan hanya 10,2 persen. Perdesaan dominan dengan sebagian besar penduduk yang bekerja di sektor pertanian.

Ada beberapa hal yang memotivasi seseorang dalam mencari pekerjaan sampingan. Adanya dorongan peningkatan kesejahteraan pada penduduk yang telah menikah memiliki probabilitas lebih besar untuk memiliki pekerjaan tambahan karena peningkatan beban rumah tangga.

Sebagai gambaran dari catatan BPS, penduduk yang telah menikah dan memiliki pekerjaan sampingan sebanyak 17,6 persen, sementara yang belum menikah hanya 7,8 persen dan yang berstatus cerai sebanyak 14,4 persen.

Sebagian pekerja juga mengalami ketidakcukupan pendapatan. Mengingat, pada sektor pertanian sebanyak 24,1 persen pekerja memiliki pekerjaan sampingan, sementara pada sektor manufaktur hanya sebanyak 11 persen dan sektor jasa 12,1 persen. Sebagian lagi mengalami ketidakpastian pendapatan.

Di antaranya peran buruh lepas dan pekerja keluarga cukup dominan di sektor pertanian. Persentase pekerja informal yang memiliki pekerjaan sampingan sebanyak 18,1 persen lebih tinggi dari pekerja formal hanya sebanyak 11,5 persen.

Sehingga, tak heran jika peningkatan permintaan menu buka puasa berdampak pada menjamurnya penjual takjil di sepanjang jalan hingga masuk ke gang-gang perumahan.

Takjil

Tahun ini, takjil tak hanya tentang permintaan konsumsi makanan untuk berbuka, namun perang takjil telah menjadi fenomena menarik, karena penikmatnya tidak hanya umat Muslim. Dampaknya, perputaran uang meningkat drastis.

Tahun lalu saja, mayoritas orang mengeluarkan uang tidak kurang dari Rp 20.000 untuk membeli takjil.

Hasil survei Kurious dari Katadata Insight Center (KIC) yang dilaksanakan Maret 2023, menunjukkan mayoritas responden atau 46,7 persen total responden mengeluarkan uang Rp 20.000 – Rp 40.000 untuk membeli takjil.

Sementara, di bawah Rp 20.000 (25,2 persen) dan Rp 40.000 - Rp 60.000 (17,5 persen). Responden yang menggelontorkan biaya membeli takjil di atas Rp 80.000 - Rp 100.000 lebih sedikit (2,2 persen).

Betapa besar peredaran uang dalam rangka pembelian takjil. Jika kita ukur Rp 20.000 saja per keluarga, dengan 70 juta keluarga yang berburu takjil, maka uang yang beredar per hari mencapai Rp 1,4 triliun, sehingga menjadi peluang besar untuk membuka peluang usaha dari pusat kuliner hingga gang-gang di perumahan.

Hal ini juga diamini dari hasil TGM Research pada Februari 2024 bahwa seseorang menghabiskan pengeluaran lebih banyak untuk belanja makanan dan minuman.

Hasilnya tercatat sebanyak 46 persen responden berencana menghabiskan pengeluaran lebih banyak untuk belanja makanan dan minuman pada Ramadhan tahun ini dibanding bulan biasanya.

Selain itu, publikasi Indonesia’s 2024 Ramadan Shopping Outlook yang dikeluarkan YouGov, menunjukkan 53 persen pembelian makanan dan minimal selama Ramadhan ini dibeli secara daring.

Jadi, jelas sekarang bahwa setiap keluarga pekerja perlu diberi peluang untuk mencari tambahan pendapatannya sendiri.

Terutama bagi pekerja informal dan serabutan yang tidak mendapat THR, mengingat pendapatan mereka yang begitu-begitu saja, tapi harus menopang peningatan kebutuhan saat Lebaran tiba.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com