Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
KILAS

Babak Baru Perkara Arsjad Rasjid vs Ahli Waris Krama Yudha, Kuasa Hukum Ajukan Kasasi, MAKI Buka Suara

Kompas.com - 27/06/2024, 12:48 WIB
Inang Sh ,
Mikhael Gewati

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan warga negara asing (WNA) asal Singapura, yakni Rozita dan Ery Said pailit dalam kasus penundaan kewajiban pembayaran (PKPU) dengan Arsjad Rasjid

Ery dan Rozita merupakan ahli waris dari Eka Said atau PT Krama Yudha yang digugat Arsjad terkait pembayaran utang senilai Rp 700 miliar.

Majelis hakim yang dipimpin Heneng Pujadi dan Betsji Siske Manoe itu memutuskan PKPU dengan Nomor Perkara 226/PDT.SUS-PKPU/2023/PN.NIAGA.JKT.PST di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Jumat (31/5/2024), pukul 23.00 Waktu Indonesia Barat (WIB).

Keputusan tersebut diwarnai dissenting opinion dari Hakim Anggota II Darianto yang menyatakan debitur tidak layak di-PKPU karena hanya sebagai ahli waris sehingga pencabutan PKPU harus dilakukan dan bukan dipailitkan. 

Kuasa hukum atau ahli waris PT Krama Yudha, Damian Renjaan, mengatakan, banyak kejanggalan sejak sidang PKPU tahun lalu hingga putusan pailit pada 31 Mei 2024.

Baca juga: Pemilu Selesai, Arsjad Rasjid Kembali Jabat Ketua Umum Kadin Indonesia

Dia menjelaskan, permasalahan itu bukanlah utang, melainkan bonus yang diberikan secara rutin berdasarkan Akta 78 Tahun 1998. 

"Sejak awal, ini bukanlah permasalahan utang, tetapi hanya sebatas bonus yang salah satunya akan diserahkan kepada ayahnya Arsjad Rasjid dari pemilik PT Krama Yudha, yaitu kakek dari Ery (Sjarnobi Said),” ujarnya dalam siaran pers, Rabu (26/6/2024). 

Berdasarkan Akta 78 Tahun 1998, permasalahan itu bukanlah kewajiban hukum dari Sjarnobi Said yang diberikan secara rutin.

Damian menjelaskan, pihaknya menelusuri bukti transaksi dari Eka Said (ayah Ery) sebagai penerus dari Sjarnobi Said lebih dari 10 tahun yang memberikan uang kepada para kreditor, tetapi seolah-olah Eka Said tidak pernah memberikan apa pun.

"Pertama, mereka telah PKPU kepada klien kami Ery dan Rozita selaku ahli waris PT Krama Yudha yang sah dan telah diputus pada 7 September 2023,” jelasnya. 

Baca juga: Kenali Apa Itu Dissenting Opinion dalam Putusan MK, Kelebihan, dan Kekurangannya

Damian mengatakan, pihaknya menolak utang sehingga hakim pengawas yang mengawasi PKPU menetapkan tidak adanya utang. Hal ini kemudian dibatalkan hakim pemutus. 

“Kemudian, pengurus menetapkan Rp 541 miliar sekian, tetapi akhirnya ditetapkan hakim pengawas Rp 132 miliar sekian karena ada bukti baru berupa transferan dana dari almarhum kepada para kreditor semasa hidupnya,” jelasnya. 

Dia menyebutkan, pihaknya cukup kooperatif dengan jumlah Rp 132 miliar dengan berbagai pertimbangan untuk membayarkannya.

“Namun, ini seolah dihalangi pengurus karena yang bersikeras pada Rp 541 miliar sampai sebelum putusan pailit,” jelasnya.

Damian menilai, hakim pemutus sejak awal seolah-olah ingin mempailitkan kliennya karena putusan PKPU diwarnai kejanggalan dengan memaksakan PKPU.

Baca juga: Apa Itu PKPU dan Bedanya dengan Pailit?

 "Kami telah ajukan kasasi terhadap putusan ini, klien kami WNA, kami harus malu dengan hukum Indonesia yang sangat tidak adil dan zalim seperti ini,” ujarnya. 

Damian pun memohon kepada Mahkamah Agung (MA) untuk memeriksa, mengadili, dan membatalkan putusan pailit tersebut.

Duduk perkara kasus Akta 78 vs Arsjad

Untuk diketahui, akar perkara kasus sengketa kedua pihak bersumber dari Akta Perjanjian nomor 78 (Akta No.78) yang dibuat oleh Sjarnoebi Said pada 20 April 1998.

Sjarnoebi adalah pendiri Krama Yudha yang memiliki 99 persen saham Krama Yudha yang menjadi pihak pertama. 

Sementara itu, pihak kedua terdiri dari lima orang yaitu:

  1. Abihasan Said
  2. Makmunar Rasyid
  3. Amran Zamzani
  4. Ny, janda Nuni Asmuni Said
  5. Ny, janda Srikandi Dja'far Said

Akta 78 turut menjelaskan jasa-jasa pihak kedua bagi Krama Yudha selama ini sehingga pihak pertama memberikan bonus sebesar 18 persen dari keuntungan bersih Krama Yudha kepada pihak kedua dengan syarat dan ketentuan sebagai berikut:

Baca juga: Mengenal Apa Itu Pailit dan Bedanya dengan Bangkrut

Perjanjian dilaksanakan dengan catatan hanya berlaku bagi janda Nuni Asmuni Said, selama yang bersangkutan belum menikah. Apalagi yang bersangkutan menikah lagi, bonus tersebut gugur secara hukum sejak tanggal pernikahaannya. Hal ini juga berlaku kepada janda Srikandi Dja'far Said.

Akta 78 juga berisi hal-hal berikut:

  1. Bahwa tujuan pemberian bonus tersebut adalah dimaksudkan untuk kesejahteraan Pihak Kedua (almh Srikandi Dja’far Said, almh Nuni Asmuni Said, alm Abi Hasan Said, dan alm Makmunar Rasyid) bersama keluarganya (vide Pasal 2).
  2. Pemberian bonus tersebut bersifat bersyarat, yakni hanya apabila perseroan memiliki keuntungan dan pihak pertama (alm Sjarnobi Said) masih menjadi pemegang saham mayoritas (vide Pasal 3).
  3. Waktu pemberian bonus tidak selalu setiap tahun, tetapi diusahakan setiap tahun (vide Pasal 5).
  4. Pihak Kedua tersebut tidak diperkenankan melihat pembukuan-pembukuan perseroan karena bukan sebagai pemegang saham (vide Pasal 4).

MAKI bersuara

Kasus ini menarik perhatian Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman. 

Baca juga: Ketua MAKI Siap Bantu Blora Ajukan JR UU HKPD, Bupati Arief Sambut dengan Tangan Terbuka

Bonyamin mengatakan, Putusan Nomor 226 itu seharusnya tidak bisa diputus dalam PKPU maupun pailit karena tidak sederhana dan harus dibuktikan lewat pengadilan perdata biasa. 

"PKPU dan kepailitan itu kan jelas harus utangnya dibuktikan secara sederhana, tetapi kalau dalam perkara ini kan karena ada janji pemberian bonus dalam akta notaris pada 1998,” katanya.

Namun, dia menyebutkan, pihaknya tidak mengetahui kapan pemberian akta itu berlaku dan berakhir, termasuk bentuk atau formatnya sehingga harus dibuktikan pengadilan perdata.

Selain itu, Boyamin menyoroti ketidakjelasan jumlah utang dalam kasus tersebut. Jumlah yang diajukan tidak bisa langsung dikonversi dari laba bersih perusahaan dan harus ditetapkan hakim pengawas. 

"Jadi, ada tiga hal ini salah kamar dan hakimnya juga tidak mencermati dengan seksama. Pertama, ini hal ini tidak sederhana. Kedua, jumlah utang yang tak jelas masa waktu perjanjian dari kapan sampai kapan formatnya bagaimana," jelasnya.

Baca juga: Kapan Debitur Dinyatakan Pailit? Ini Penjelasan Guru Besar Unpad

Dia berharap, permasalahan itu tidak menjadi peristiwa buruk dalam penyelesaian utang piutang di Indonesia dan tidak mencerminkan keadilan, apalagi ahli warisnya merupakan WNA Singapura.

"Jadi, dalam kasus ini para hakim, pengurus, dan kurator harus berhati-hati menilai kasus ini ke depan apabila ada upaya hukum dan penyelesaian mekanisme lainnya," katanya.

Selain itu, Boyamin mengkritik kinerja Ketua Majelis Hakim Heneng Pujadi dan Betsji Siske Manoe serta menyarankan agar kedua hakim ini diganti dengan hakim lain yang lebih objektif. 

Ia juga mengusulkan Badan Pengawas (Bawas) MA turun tangan untuk memeriksa kedua hakim ini. Pasalnya, menurut Bonyamin, dua hakim ini mengeluarkan putusan-putusan yang kontroversial, baik dalam kasus ini maupun kasus-kasus lainnya.

"Kami sudah menyurati Komisi Yudisial (KY) dan Bawas MA agar kasus ini diatensi dan semuanya jelas dan terang," tuturnya.

Baca juga: Hak dan Kewajiban Orang Asing dalam Hukum Keimigrasian

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com