Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Banyak Pekerja Ingin "Work Life Balance", Apakah Ini Akhir Era "Hustle Culture"?

Kompas.com - 20/04/2023, 15:57 WIB
Agustinus Rangga Respati,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Narasi "hustle culture" atau budaya hiruk pikuk mempromosikan gagasan bahwa selalu ada lebih banyak hal yang harus diperjuangkan, lebih banyak uang untuk dihasilkan, dan gelar atau promosi yang lebih besar untuk diamankan.

Pola pikir ini sebagaian besar berasal dari kebiasaan perusahaan rintisan atau start up teknologi di Silicon Valley dan digaungkan lewat media sosial.

Di era pandemi, banyak orang yang kembali memprioritaskan kembali apa yang diinginkan dari pekerjaan dan kehidupan. Banyak orang keluar dari tempat kerja yang tidak nyaman, membuat batasan, dan meluangkan lebih banyak waktu untuk kehidupan pribadi.

Para ahli mengatakan, ledakan kewirausahaan pada 1990-an dan awal 2000-an menjadi dasar dari budaya hustle culture.

Kebangkitan perusahaan pembiayaan modal ventura telah membantu membangun raksasa teknologi seperti Google dan Facebook.

Baca juga: Dukung Work Life Balance, Perusahaan Ini Berikan Cuti bagi Karyawan yang Berulang Tahun

Keberhasilan tersebut dipengaruhi oleh budaya kerja mereka yang intens dan menguras tenaga.

Dosen ekonomi digital di King's College London Nick Srnicek mengatakan, setelah itu California Utara dikenal sebagai pusat global untuk inovasi dan kewirausahaan.

“Silicon Valley memiliki citra sebagai paradigma ekonomi, dengan teknologi terdepan,” ujar dia, dikutip dari BBC.com, Kamis (20/4/2023).

Ia menjelaskan, budaya kerja 24/7 dan terburu-buru untuk mendapatkan pendanaan menjadi model bisnis yang diikuti banyak pihak.

"Itu semua melegitimasi gagasan bahwa untuk menjadi sukses dan menyelesaikan sesuatu yang bermakna, Anda harus bekerja berjam-jam,” imbuh dia.

Baca juga: Work-Life Balance ala Aiman Witjaksono

Namun demikian, sebuah survei yang dilakukan perusahaan asuransi Prudential pada tahun 2022 di Amerika Serikat menemukan, sebanyak 70 persen pekerja di AS telah memprioritaskan kehidupan pribadi ketimbang pekerjaan dan karier mereka.

Sementara, sebanyak 20 persen orang bersedia menerima pemotongan gaji kalau hal tersebut berarti mereka mendapatkan keseimbangan hidup yang lebih baik.

Budaya hustle culture memang belum sepenuhnya memudar. Namun, para ahli mengatakan, budaya bekerja secara terus menerus tidak lagi diinginkan bagi sebgian orang.

Baca juga: Menjaga Work Life Balance dan Terus Belajar, Kunci Sukses Berkarier


Beberapa pekerja mengaku, jam kerja yang lebih pendek atau berjalan kaki saat istirahat makan siang membantu mereka menyelesaikan pekerjaan.

Jam kerja yang panjang dan kerja keras mungkin pernah menjadi simbol status tertinggi bagi banyak orang.

Namun demikian, setelah beberapa tahun mengalami kesulitan ekonomi dan ancaman PHK, beberapa orang tampaknya memprioritaskan kesehatan dan keluarga daripada kesibukan bekerja.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com