Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mohamad Burhanudin
Pemerhati Kebijakan Lingkungan

Penulis lepas; Environmental Specialist Yayasan KEHATI

Kedaulatan Pangan, Mimpi yang Tak Kunjung Terwujud

Kompas.com - 17/07/2023, 17:48 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ANDA yang menonton film Pursuit of Happiness mungkin masih ingat dengan nasihat Christopher Gardner (diperankan Will Smith) kepada anaknya seusai bermain basket berdua: “You got a dream. You gotta protect it”.

Gardner hendak mengatakan, mimpi bukanlah hal yang mustahil untuk diwujudkan. Syaratnya, kita harus terus berusaha ‘menghidupi’ mimpi itu.  Jika tidak, mimpi itu tidak akan terwujud dalam kenyataan.

Berpuluh-puluh tahun, kita bermimpi tentang kedaulatan pangan atau setidaknya berswasembada atasnya. Namun, alih-alih menggapai kedaulatan pangan melalui keberagaman pangan, Indonesia kini justru menghadapi beragam persoalan pangan serius.

Baca juga: Jurus Bapanas Dorong Ketahanan Pangan RI, Antisipasi Dampak El Nino

Mimpi besar kedaulatan pangan di Indonesia telah muncul sejak era Presiden Soekarno. Menurut pemberitaan harian Kompas tanggal 28 September 1965, yang dikutip dalam buku “Keragaman Hayati dan Budaya: Kunci Kedaulatan Pangan Nusantara” (Yayasan KEHATI/2020), Presiden Soekarno meletakkan prinsip kedaulatan pangan pada pentingnya keberagaman pangan yang berperspektif nusantara.

Dia menyatakan perlunya mengubah menu makan agar tidak melulu beras. Seiring peningkatan jumlah penduduk lebih dari 72 juta menjadi 105 juta saat itu, semata menggantungkan pada komoditas beras sebagai sumber pangan bukanlah pilihan terbaik.

Hegemoni Beras

Keragaman pangan yang menjadi inti dasar mimpi kedaulatan pangan Soekarno tak berlanjut di era pemerintahan berikutnya. Pada era Orde Baru, kebijakan pangan bertumpu pada revolusi hijau yang diterapkan secara masif dengan mimpi utama swasembada beras.

Revolusi itu meliputi penggunaan benih unggul, pemupukan kimia, irigasi yang baik, proteksi tanaman terutama dengan pestisida, dan mekanisasi pertanian. Alhasil, sejak dekade 1980-an, konsumsi beras kita melonjak drastis, dari hanya 53,5 persen tahun 1954, menjadi 81,1 persen tahun 1981. Sementara, persentase konsumsi umbi-umbian, jagung, ubi kayu berangsur turun (Arif, 2018).

Tahun 2021, konsumsi beras Indonesia mencapai 80,4 per kapita per tahun. Meskipun sudah ada penurunan dibanding tahun 2016 yang mencapai 101 kilogram per tahun. Namun konsumsi beras kita tetap menjadi salah satu yang tertinggi di dunia (Badan Pusat Statistik, 2021).

Di sinilah sistem pangan kita kian rapuh. Di satu sisi, kualitas lahan pertanian memburuk akibat penggunaan pupuk kimia besar-besaran guna menyangga kebutuhan produksi beras yang dari waktu ke waktu semakin besar. Di sisi lain, tingginya ketergantungan pada beras membuat keragaman pangan berbasis lokalitas tak terwujud.

Salah satu akibat kegagalan membangun keragaman pangan adalah tak tercukupinya gizi pangan masyarakat secara baik. Data Indeks Ketahanan Pangan 2022 menunjukkan, satu dari empat anak Indonesia masih mengalami kekurangan gizi.

Beban malnutrisi meliputi tiga hal, yaitu gizi kurang (tengkes dan balita kurus), obesitas, dan kurang gizi mikro (KGM) atau disebut sebagai kelaparan tersembunyi. Artinya, tantangan terbesar bukan lagi pada kurangnya karbohidrat, seperti beras, melainkan defisiensi zat gizi mikro, akibat kekurangan sayuran, buah-buahan, pangan hewani, dan kacang-kacangan.

Kurangnya keragaman pangan bukan satu-satunya penyebab permasalahan kekurangan gizi di negeri ini. Kebijakan harga pangan tinggi turut mempersulit masyarakat kurang mampu mengakses makanan.

Harga pangan dalam negeri kita jauh lebih tinggi daripada luar negeri, bahkan, tertinggi di Asia Tenggara. Berdasarkan data Bank Dunia tahun 2022, harga beras Indonesia di dalam negeri rata-rata mencapai 0,96 dolar AS.

Harga tersebut lebih tinggi daripada Thailand (0,39 dolar AS), Filipina (0,73 dolar AS), Myanmar (0,43 dolar AS), Kamboja (0,43 dolar AS), dan Vietnam (0,40 dolar AS).

Menurut Bank Dunia, mahalnya harga beras di Indonesia dipengaruhi beberapa faktor, terutama kebijakan pemerintah yang mendukung harga pasar bagi produsen di sektor pertanian. Kebijakan ini meliputi pembatasan perdagangan. Di antaranya, tarif impor, pembatasan kuantitatif, monopoli impor BUMN untuk komoditas utama, dan kebijakan pembelian harga minimum di tingkat petani.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com