Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Said Abdullah
Ketua Badan Anggaran DPR-RI

Ketua Badan Anggaran DPR-RI. Politisi Partai Demoraksi Indonesia Perjuangan.

Menyongsong Indonesia Jadi Negara Maju

Kompas.com - 18/07/2023, 12:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TAHUN lalu, Goldman Sach Research (GSR) merilis laporan tentang Proyeksi Ekonomi Global tahun 2075. Sangat mengejutkan, dari ramalan GSR pada tahun 2050 Indonesia masuk ranking empat negara ekonomi terbesar dunia, di bawah Tiongkok, Amerika Serikat (AS), dan India.

Namun tahun 2075, formasi negara ekonomi besar dunia berubah. GSR memperkirakan Indonesia tetap diperingkat empat, tetapi India naik, menggeser AS dari peringkat dua.

Ramalan GSR dan banyak lembaga thinkthank dunia lainnya menempatkan Asia dan Pasifik menjadi kawasan “harapan masa depan”. Poros ekonomi yang bergeser dari Eropa ke Asia dan Pasifik mengubah formasi negara negara kekuatan ekonomi besar dunia.

Baca juga: Mahfud MD Sebut Transformasi Digital Harus Digalakkan untuk Capai Visi Indonesia Maju 2045

Negara negara seperti Nigeria, Pakistan, Mesir, Brasil, dan Filipina diprediksikan masuk menjadi bagian dari 15 besar ekonomi dunia, sementara posisi Inggris, Jerman, dan Prancis diperkirakan melorot, meskipun tetap masuk 15 besar kekuatan ekonomi dunia.

Atas ramalan itu tentu Indonesia perlu menyambut optimis. Karena masih sebatas ramalan, tugas kita ke depan mewujudkan ramalan itu menjadi nyata.

Indoneseia telah memiliki visi jangka panjang untuk menjadi negara maju. Cetak biru Indonesia menuju negara maju, melalui tagline “Visi Indonesia Emas 2045” yang digulirkan Bappenas bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Mei 2019. Visi Indonesia Emas 2045 menjadi peta jalan penting agar kita bisa mengukur milestone setiap kemajuan yang kita raih.

Untuk mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045 tidaklah seindah puisi. Visi itu memang didasarkan pada asumsi kecenderungan-kecenderungan besar (megatrend) dunia, serta modal sosial yang menjadi keunggulan komparatif yang dimiliki Indonesia. Visi ini juga mengalkulasi keseluruhan tantangan yang harus dilalui Indonesia untuk mewujudkan cita-cita tersebut.

Tantangan krusial yang harus kita lampaui adalah kemampuan kita memanfaatkan bonus demografi yang kita miliki sejak tahun 2012. Berdasarkan proyeksi, penduduk Indonesia 2015-2045 berbasis data Survei Penduduk Antarsensus (Supas) oleh BPS tahun 2015, periode bonus demografi di Indonesia berlangsung 2012-2036.

Artinya tersisa waktu 13 tahun lagi bagi Indonesia mendapatkan bonus demografi, sebelum akhirnya kita menjadi bangsa yang “menua”, dengan rasio ketergantungan penduduk bisa jadi di atas 50 persen, yang artinya penduduk usia non-produktif semakin banyak.

Merujuk data BPS, tahun 2022 rasio ketergantungan penduduk mencapai 44,6 persen, dan proyeksi BPS pada tahun 2035 rasio ketergantungan penduduk mencapai 47,3 persen.

Oleh sebab itu, momentum sisa 13 tahun Indonesia mendapatkan bonus demografi harus mampu didayagunakan dengan maksimal, sebagai bekal mencapai Visi Indonesia Emas 2045 dengan PDB per kapita mencapai 23.199 dolar AS.

Tahun 2011, mengutip data Bank Dunia, pendapatan per kapita Indonesia, saat akan memasuki periode bonus demografi, mencapai 2.990 dolar. Tahun 2022 lalu PDB per kapita Indonesia mencapai 4.783,9 dolar , atau naik 62,5 persen. Namun capaian ini masihlah terlalu jauh untuk mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045.

Agenda Strategis

Modal bonus demografi saja tidak cukup untuk mencapai PDB per kapita 23.199 dolar. Bonus demografi hanyalah satu dari syarat obyektif kita menurunkan keindahan di langit menjadi nyata di bumi.

Tidak ada artinya kalau kita memiliki usia produktif, namun tidak memiliki keahlian dan ketrampilan, tidak memiliki daya inovasi yang produktif, tidak memiliki kekayaan talenta di banyak bidang, khususnya sains dan teknologi. Karena itu, kita harus indentifikasi “the most binding constrain” atas langkah kita menuju negara maju.

Baca juga: Realisasikan Mimpi Indonesia Negara Maju, Hilirisasi Harus Libatkan UMKM

Mari kita berkaca pada Tiongkok. Pada tahun 1950-an mereka masih jauh di bawah Indonesia. Mereka masih menjadi negeri “tirai bambu” alias tertutup. Namun mereka belajar terhadap cara Soekarno membangun Indonesia, dengan mengirimkan orang-orang Indonesia belajar keluar negeri, belajar sains dan teknologi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com