Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah Disarankan Alihkan Sebagian Anggaran Subsidi Fosil untuk Energi Bersih

Kompas.com - 21/08/2023, 21:40 WIB
Yohana Artha Uly,
Akhdi Martin Pratama

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah disarankan mengalihkan sebagian anggaran subsidi energi fosil untuk pendanaan transisi ke energi bersih. Hal ini untuk mengejar target Indonesia mencapai bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 28 persen di 2030.

International Institute for Sustainable Development (IISD) mencatat, berdasarkan data 2016-2020, porsi pendanaan untuk energi fosil mencapai 94,1 persen. Penghitungan ini mengacu pada definisi subsidi World Trade Organization (WTO) yang mencakup transfer langsung dana hingga insentif pajak.

"Jadi artinya dukungan pemerintah untuk bahan bakar fosil dan listrik dari bahan bakar fosil, itu jauh lebih tinggi dari energi terbarukan," ujar Analis Kebijakan Energi IISD Anissa Suharsono ujarnya dalam diskusi Yayasan Indonesia Cerah: Mendorong RUPTL Hijau yang Ambisius Setelah Komitmen JETP di Jakarta, Senin (21/8/2023).

Ia mengatakan, pengalihan sebagian anggaran subsidi energi tersebut dirasa penting sebab besarnya pendanaan yang diperlukan dalam program transisi energi. Lantaran, saat ini pengembangan energi terbarukan memang masih terbilang mahal.

Baca juga: Punya Potensi Energi Surya yang Besar, RI Bisa Jadi Penyumbang EBT Terbesar di ASEAN

Annisa menuturkan, saat ini skema pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP) memang menjadi katalis transisi energi di RI. JETP akan berkomitmen memberikan pendanaan 20 miliar dollar AS atau Rp 300 triliun dalam 5 tahun ke depan untuk proyek transisi energi di Indonesia.

Namun menurutnya, dana dari JETP itu tidak cukup untuk membiayai keseluruhan kebutuhan transisi energi Indonesia. Apalagi JETP menargetkan bauran EBT bisa mencapai 34 persen di 2030, lebih tinggi dari yang dicanangkan pemerintah yakni 28 persen di tahun yang sama.

"Kenyataannya keseluruhan biaya yang diperlukan untuk mencapai target itu pasti berkali-kali lipat lebih besar. Apakah total biaya itu 100 persen bergantung international funding? Padahal ada sumber pendanaan lain yang bisa di eksplor yaitu public budget," ungkap Annisa.

Maka dari itu, dia menyebut, memindahkan sebagian dukungan pendanaan publik terhadap bahan bakar fosil ke energi bersih adalah salah satu cara untuk mengisi gap atau celah kekurangan pendanaan dalam program transisi energi.

Menurutnya, melibatkan kebijakan fiskal dengan menekan subsidi bahan bakar fosil, akan menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mengeksekusi program transisi energi. Hal ini diyakini juga dapat meningkatkan kepercayaan swasta terhadap pemerintah.

Baca juga: Transisi Energi Bersih, Indonesia Dapat Kucuran Rp 135 Miliar dari Inggris

Annisa bilang, swasta sebagai salah satu investor dalam program transisi energi akan merasa terjamin ketika mengerjakan proyek energi bersih, sebab adanya bantuan dari pemerintah, baik itu berupa subsidi maupun insentif untuk mendorong transisi ke energi bersih.

"Kalau pemerintah serius mau menunjukkan komitmennya untuk bertransisi energi, mereka bisa merumuskan serangkaian kebijakan fiskal untuk keseriusan tersebut, salah satunya dengan mengalihkan sebagian subsidi bahan bakar fosil ke subsidi untuk energi bersih," papar dia.

"Ini akan memberikan sinyal yang jelas kepada swasta, inssurance. Pada jangka pendek, subsidi atau insentif ini akan mengurangi risiko investasi di proyek-proyek energi bersih, yang ujungnya mendorong investasi itu sendiri, dan dalam jangka panjang akan mengundang volume investasi swasta yang lebih besar," tambah Annisa.

Sementara itu, Peneliti Institute for Energy Economics and Financial Analysis, Putra Adhiguna menambahkan, pengalihan sebagian subsidi energi fosil itu memungkinkan dilakukan, hanya saja harus cermat memilah pos anggaran yang akan dialihkan. Tujuannya, agar kebijakan tersebut bisa lebih mudah diterima oleh masyarakat.

Misalnya, seperti program Badan Layanan Usaha (BLU) batu bara, yang rencananya menjadi pemungut iuran dari pelaku usaha batu bara. Konsep ini sama seperti pada komoditas kelapa sawit yang iurannya dipungut Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

Hingga saat ini pembentukan BLU batu bara itu pun belum terealisasi. Padahal, kata dia, iuran yang dipungut BLU batu bara tersebut bisa dialihkan sebagian untuk program transisi energi.

"Rencana BLU batu bara itu maju mundur, kalau bisa kayak BPDPKS, jadi dengan penghasilan sekian triliun (iuran dari pengusaha batu bara) untuk transisi kebutuhan secara gradual. Bisa mulai dengan angka misalnya 2 persen untuk kebutuhan transisi energi," ungkap dia.

Putra menekankan, Indonesia harus segera mengejar transisi ke energi bersih, karena saat ini negara-negara tetangga pun sudah pada beralih ke energi terbarukan. Berbeda halnya dengan RI yang masih sangat mengandalkan energi fosil, seperti kelistrikan yang sebagian besar berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

Transisi energi ini juga diperlukan untuk menjaga ketahanan energi di masa depan, sebab batu bara dan gas bumi yang kini dimiliki Indonesia akan habis ke depannya. Jika tidak mengembangkan energi terbarukan, maka ketika komoditas dalam negeri habis, RI akan bergantung pada impor energi.

"Ketika gas habis maka akan terjadi konsumsi akan naik, tidak terkendali, LNG-nya harus impor, mirip kayak dulu kita kaya BBM, tapi sekarang sudah enggak ada BBM kita pusing, jadi impor. Kalau 13 tahun lagi kita enggak ada gas, kita pusing. Jadi realokasi itu harus kita lihat yang mana yang ringan, kita kikis dari pinggirnya," pungkas Putra.

Baca juga: Soal Divestasi Vale, Pemerintah Diharapkan Utamakan Energi Bersih

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com