Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dibanjiri Barang Impor, Asosiasi Tekstil: Utilitas Industri Hanya 50 Persen, Sangat Memperihatinkan

Kompas.com - 25/09/2023, 18:40 WIB
Haryanti Puspa Sari,
Akhdi Martin Pratama

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengatakan, para pelaku usaha tekstil kelimpungan mempertahankan pasar lokal seiring dengan banyaknya barang impor dari China masuk ke pasar domestik.

Ketua Umum API Jemmy Kartiwa Sastraatmadja mengatakan, gempuran barang impor tersebut membuat utilitas industri tekstil dari hulu ke hilir hanya mencapai 50 persen.

"Dampaknya sangat memprihatinkan dari sisi Hilir / IKM sampai ke hulu. Utilisasi sampai hanya 50 persen," kata Jemmy saat dihubungi Kompas.com, Senin (25/9/2023).

Jemmy mengatakan, gempuran barang impor tekstil itu terjadi seiring dengan melambatnya ekonomi China.

Baca juga: Teten Endus Pakaian Impor China Sengaja Diobral Murah di Toko Online

Ia mengatakan, perlambatan ekonomi di China membuat daya beli masyaratnya turun sehingga terjadi kondisi overstock.

"Makanya mereka (China) berusaha menjual ke negara yang lemah dalam menggunakan instrumen trade barrier," ujarnya.

Lebih lanjut, Jemmy meminta agar pemerintah memperketat aturan importasi pakaian jadi. Sebab, kata dia, pakaian yang dijual secara online mengganggu daya saing produk lokal.

"Jadi untuk importasi pakaian jadi regulasinya harus diperketat," ucap dia.

Sebelumnya, Menteri Koperasi dan UKM (MenkopUKM) Teten Masduki menduga adanya praktik predatory pricing atau jual rugi, terutama komoditas barang-barang dari luar negeri yang menyebabkan terpukulnya industri tekstil dalam negeri.

Teten menjelaskan, barang-barang dari luar negeri tersebut masuk dan membanjiri Indonesia dengan harga di bawah produksi dalam negeri yang dinilai tidak wajar, kemudian dijual secara daring, hingga membuat produk dalam negeri tidak bisa bersaing.

Baca juga: Di Hadapan Menkop Teten, Pengusaha RI Bongkar Skandal Barang Impor Ilegal di E-commerce dan Social Commerce

"Saya mendapatkan banyak sekali masukan dari diskusi di sini terkait banyaknya barang impor yang masuk, utamanya dari China dengan harga yang sangat murah," kata Teten di Bandung dikutip dari Antara, Minggu (24/9/2023).

"Nah harga yang murah ini bisa jadi kami menyebutkan predatory pricing dijual di online kemudian memukul pedagang offline dan efeknya yang terpukul sektor produksi juga," kata dia lagi.

Sebagai informasi, predatory pricing adalah praktik bisnis ilegal yang menetapkan harga suatu produk terlalu rendah untuk menghilangkan persaingan.

Dalam bahasa yang sederhana, penjual atau produsen melakukan banting harga, tak peduli meskipun rugi, supaya bisa mematikan para pesaingnya di pasar yang sama.

Jika salah satu pelaku usaha melakukan predatory pricing, maka yang terjadi adalah perang harga. Di mana penjual atau produsen lain juga akan melakukan potongan harga besar-besaran.

Jika dilihat sekilas, perang harga ini akan menguntungkan konsumen karena bisa mendapat barang atau jasa dengan harga rendah. Namun penjual yang tidak kuat melakukan perang harga terus menerus, terutama yang kecil dan kalah modal, akan mengalami kebangkrutan.

Otomatis persaingan akan berkurang, bahkan dikuasai segelintir pemain. Yang dalam jangka panjang, justru akan cenderung mengontrol harga dan pada akhirnya merugikan konsumen.

Baca juga: Bea Cukai Beberkan Modus Impor Tekstil Ilegal ke Indonesia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com