Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dr. Ir. Muhrizal Sarwani, M.Sc.
Analis Kebijakan Utama Kementan

Analis Kebijakan Utama Kementerian Pertanian

Distrupsi Produksi Padi: Memenuhi Kebutuhan Beras Tanpa Impor

Kompas.com - 30/09/2023, 09:26 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Muhrizal Sarwani, S.H. Adi, H. Sosiawan, Marwanti, dan Gatot Irianto*

GONJANG ganjing harga beras yang terus meroket dan rencana impor beras menyebabkan banyak spekulasi situasi produksi beras kita. Apalagi kita mau impor beras dari India yang jumlah penduduknya jauh lebih banyak dari kita.

Para orang awam, bahkan pengamat melihat Indonesia adalah negeri subur dan luas. Padahal, kalau membandingkan apple to apple, maka lihatlah luas lahannya per penduduk.

India 1382 m2/kapita, Indonesia 494 m2/kapita, itupun di rata-rata termasuk sawah irigasi, sawah rawa, sawah tadah hujan dan lahan kering yang tidak semuanya subur.

Hanya sawah irigasi yang hasilnya bisa sampai dengan 6 ton/ha dengan indeks pertanaman 1,7 kali yang luasnya hanya 3,67 juta ha. Sementara lahan rawa hanya memproduksi beras setahun sekali dengan rata-rata produksi 3 ton/ha.

Secara total kita memproduksi padi 54 juta ton. Bandingkan dengan India yang memproduksi 130 juta ton padi.

Lahan yang ditanami padi di India bertambah terus dari 30 juta ha pada 1950, lalu mencapai 46 juta ha pada 2022.

Namun hal lain yang perlu kita ketahui orang India makannya tidak semata-mata beras, tapi macam-macam: terigu, jagung, sorgum, millet yang juga diproduksi sendiri.

Persoalan di atas membuat Presiden Jokowi, ketika memberikan orasi di sidang terbuka dies natalis ke -60 IPB di Kampus IPB Universiti, Dramaga, menyampaikan pentingnya inovasi besar-besaran terkait permasalahan pangan dan menjadikannya sebagai peluang.

Tidak tanggung-tanggung, Presiden memberikan tantangan untuk menjadikan peluang tersebut membuat Indonesia menjadi lumbung pangan.

Pertanyaannya adalah mungkinkah tantangan tersebut dapat dicapai? Apalagi luas lahan kita yang terbatas dan cenderung menurun dari tahun ke tahun. Belum lagi deraan El nino dan La nina yang semakin kerap terjadi.

Tantangan Pak Jokowi tersebut harus direalisasikan oleh pemerintah. Mengapa? Argumennya karena krisis pangan bisa ada di depan mata karena sekarang banyak negara yang sudah dililit krisis pangan, bahkan ada yang menjadi fail state. Contoh nyata adalah Sri Lanka.

Pada 2021 lalu, pemerintah Sri Lanka kolaps akibat krisis pangan: inflasi tidak terkendali lebih dari 50 persen dengan harga pangan meroket 80 persen dan biaya transportasi naik 128 persen.

Pemerintah Sri Lanka (Rajapaksa) menyatakan ‘state of emergency’ untuk mencegah situasi yang tidak terkendali akibat kemarahan rakyatnya.

Kalau kita mengikuti dan menguliti sejarah swasembada beras, maka tantangan tersebut pernah kita jawab dan lakukan.

Adalah Bung Karno - presiden pertama kita – pada 1952 atau lebih 60 tahun lalu, menyampaikan tantangan yang hampir serupa pada saat peletakan batu pertama Gedung Fakultas Pertanian UI – yang kemudian menjadi IPB – di Barangsiang Bogor yang petikannya sebagai berikut: “Soal persediaan makanan rakyat adalah soal hidup atau mati”.

Dan bahkan diulangi dan ditekankan lagi dengan kalimat: “Camkan, sekali lagi camkan, kalau kita tidak tanggulangi soal makanan rakyat ini secara besar-besaran, radikal dan revolusiner, maka kita akan mengalami malapetaka”.

Pidato bung Karno menginspirasi IPB untuk mengirim 12 orang mahasiswa melakukan kerja radikal dan revolusioner. Mereka turun ke desa berbekal ilmu yang didapat di bangku kuliah di gedung yang diinisiasi oleh Bung Karno, mendampingi para petani.

Inilah cikal bakal dari Gerakan Bimbangan Massal - gerakan radikal dan revolusioner, mengutip pidato Bung Karno – yang dimulai pada musim penghujan 1963/1964 untuk meyakinkan para petani agar menerapkan prinsip intensifikasi. Selanjutnya, kegiatan ini diadopsi menjadi program nasional Bimas.

Setelah politik stabil, pada akhir 1960-an, secara terstruktur pemerintah menyediakan infrastruktur pertanian. Infrastruktur pengairan dibuat baru dan direhabilitasi.

Sawah baru dicetak umumnya di luar Jawa. Pabrik pupuk diperluas. Subsidi pupuk dikenalkan. Dan tentunya Bimbingan masal (Bimas) bagi petani.

Setelah lebih dari 15 tahun, Indonesia meraih swasembada pangan pada 1985. Namun capaian tersebut hanya seumur jagung, tidak dapat dipertahankan terutama dengan adanya tekanan perubahan iklim yang menyebabkan kerapnya serangan hama penyakit, kekeringan dan banjir, serta luas baku sawah yang terus berkurang.

Namun penyebab utama adalah sistem produksi dengan inovasi teknologi yang belum ada terobosan.

Situasi di atas sangat mengganggu produksi beras Indonesia dan kebijakan yang dipakai adalah memenuhinya melalui impor. Pada saat kekeringan ekstrem pada 1995, kita harus mengimpor lebih dari 3 juta ton beras.

Selama masa krisis ekonomi 1998, kita mengimpor lebih dari 4 juta ton beras, bahkan berlanjut dengan angka yang serupa setiap tahunnya sampai 2003.

Pada 2004-2010, impor kita bahkan rata-rata kurang dari 400.000 ton beras. Tahun 2011-2021 impor beras cukup berfluktuatif dengan jumlah terbesar impor terjadi pada 2011, yaitu sebesar 2,74 juta ton lalu pada 2012 sebesar 1,8 juta ton.

Setelahnya berada pada angka di bawah 750.000 ton melonjak kembali pada 2016 yang melebihi angka 1 juta, bahkan pada 2018 mencapai 2,25 juta ton. Setelahnya di bawah 500.000 ton sampai 2022 yang lalu.

Jadi, kita pernah menjawab dan melakukan kerja nyata yang terstruktur untuk tantangan besar.

Dalam situasi saat ini, menjawab tantangan tersebut tidaklah mudah karena kita dihadapkan pada situasi membenahi benang kusut khususnya kebijakan impor pangan dan sistem produksi yang kedaluwarsa tanpa terobosan dan kapasitas produksi beras kita yang terbatas.

Kapasitas produksi padi

Studi yang dilakukan oleh Mulyani dkk (2022) dengan menggunakan data luas panen dan produktivitas dari Badan Pusat Statistik tahun 2020 (BPS 2021) dan luas baku dan jenis sawah dari BPN (2019) menunjukkan bahwa produksi beras nasional pada 2045 diprediksi sebesar 38,5 juta ton.

Dengan tingkat konsumsi 90 kg per kapita, jumlah ini sangat jauh dari cukup.

Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk Indonesia saat ini adalah sekitar 276 juta jiwa dan diproyeksikan akan mencapai 319 juta jiwa pada 2045 dengan pertumbuhan sebesar 1,17 persen per tahun.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com