Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dr. Ir. Muhrizal Sarwani, M.Sc.
Analis Kebijakan Utama Kementan

Analis Kebijakan Utama Kementerian Pertanian

Distrupsi Produksi Padi: Memenuhi Kebutuhan Beras Tanpa Impor

Kompas.com - 30/09/2023, 09:26 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Jika alih fungsi lahan sawah tetap sebesar 90.000 ha/tahun, menjelang tahun 2045, maka kapasitas produksi padi dari lahan sawah akan mengalami penurunan sebesar 16,6 juta ton GKG dari angka produksi tahun 2022.

Kita memerlukan tambahan sekitar 17,74 juta ton untuk mencukupi perut penduduk. Pilihan paling mudah adalah impor.

Namun perlu diingat bahwa kebijakan impor menjadi sebab kita akhirnya tergantung secara permanen untuk bahan baku (kedelai) tempe dan tahu. Impor juga jadi sebab kita tergantung kepada gula.

Impor adalah cara paling mudah, tetapi menggerus kapasitas dan kemampuan kita memproduksi sendiri.

Namun yang lepas dari perhatian kita adalah produkvitas padi kita sejak 10 tahun lalu susah bergerak naik.

Hal ini juga berimbas kepada produksi beras selama 1 dekade (antara 2010-2018) yang sudah melandai. Sinyal ini memberikan indikasi bahwa melemahnya produksi pada dekade tersebut masih dapat mengandalkan pendekatan saat ini.

Hal ini juga merupakan indikasi bahwa sistem produksi sudah harus dilakukan terobosan karena pendekatan yang ada nampaknya sudah tidak mampu lagi menahan deraan alih fungsi lahan.

Kondisi ini diperkirakan semakin parah pada 2045, jika tidak ada implementasi inovasi yang mampu menyelesaikan masalah peningkatan produksi padi nasional secara cepat dan masif dari hulu ke hilir.

Apa pemicu dan penyebab produksi kita mandek? Bisa jadi hal ini dipicu tergerusnya pendapatan petani karena ongkos produksi yang tinggi sehinggga semakin men-decline modal petani untuk berproduksi.

Angka-angka NTP juga memperlihatkan hal tersebut. Dampak selanjutnya adalah seperti lingkaran setan yang terus menggerus modal petani untuk berproduksi sehingga menurunkan luas panen dan melandainya provitas.

Impor pangan yang terus menggila bisa jadi dipicu juga oleh sistem produksi yang tidak efisien. Impor pangan juga didorong oleh harga pangan domestik yang lebih tinggi dibandingkan harga internasional.

Faktanya harga beras Indonesia saat ini 37 persen lebih tinggi dari harga dunia. Faktor determinannya adalah teknologi sistem produksi yang tidak efisiensi, kedaluwarsa dan terdisrupsi baik upstream maupun down stream.

Harus ada terobosan inovasi. Dalam bahasa pak Jokowi yang disampaikan di IPB beberapa waktu lalu, ”belum bisa dibilang inovasi jika kita belum rada-rada gila”. Disruptif Technology sistem produksi pertanian adalah jawabannya.

Teknologi disrupsi produksi padi

Istilah "disruptif technology" pertama kali dikenalkan oleh James Christensen dan Joseph Bower dalam artikel di Harvard Business Review pada 1995, dengan judul “Disruptive Technologies: Catching the Wave”.

Teknologi disrupsi produksi padi adalah teknologi yang mengangkat produksi secara drastis yang dapat mengguncang sektor pertanian.

Teknologi Disrupsi produksi padi dapat juga diartikan sebagai tindakan (action) yang dapat menekan ongkos produksi, baik di hulu, onfarm dan hilir, secara lebih cepat dan masif, sehingga meningkatkan efisiensi teknis, alokasi, dan ekonomi produksi pertanian secara berkelanjutan (Marwanti dkk, 2023: Bookie and Duncombe, 2019; Curry et al., 2021).

Disrupsi teknologi dilakukan di hulu (up stream) maupun di hilir (down stream).

Disrupsi teknologi di upstream meliputi jenis dan sistem produksi pupuk dan pestisida, on farm berupa olah tanah, tanam, penyiangan, penyemprotan, pemupukan. Sementara di hilir panen dan pengolahan hasil.

Goal akhir dari penerapan teknologi disrupsi pertanian haruslah dapat menjaga produksi padi sehingga beras cukup bagi masyarakat, menyejahterakan petani dan menyediakan beras dengan harga yang layak bagi masyarakat Indonesia.

Target yang harus dicapai dalam penerapan teknologi disrupsi dapat menurunkan biaya produksi padi 20 persen dari biaya produksi negara kompetitor.

Argumennya angka ini stabil terhadap guncangan valas, inflasi, maupun bencana. Angka ini merupakan angka yang pasti menjaga/menjamin kepastian untuk melawan impor.

Disrupsi sistem produksi beras nasional merupakan suatu keniscayaan agar Indonesia bisa keluar dari perangkap pangan termasuk padi (rice trap).

Untuk mendiskripsikan disrupsi produksi padi, maka ilustrasi berikut dapat digunakan.

Memicu dan memacu disrupsi produksi

Insentif teknologi disrupsi produksi dan pengolahan hasil adalah menurunkan biaya produksi padi. Biaya terbesar dalam produksi padi adalah tenaga kerja.

Ongkos tenaga kerja mencapai hampir 50 persen dari biaya-biaya yang dikeluarkan. Ditambah biaya pupuk dan pestisida yang 16-20 persen, maka komponen biaya tenaga kerja dan sarana produksi dapat mencapai 70 persen.

Karena itu, teknologi disrupsi produksi padi dapat difokuskan kepada dua hal tersebut. Misalnya, produksi bahan organik masif, murah in situ memanfaatkan daur ulang sampah terseleksi.

Pilihan ini untuk menekan biaya produksi pupuk yang semakin mahal bahan bakunya serta sensitif terhadap gejolak moneter dan dinamika geopolitik regional dan internasional.

Produksi bahan organik in situ memungkinkan tanah semakin subur dan tidak memerlukan pengolahan tanah penuh, melainkan cukup pengolahan tanah minimum (minimum tillage) atau bahkan tanpa olah tanah (zero tillage).

Peningkatan kesuburan tanah melalui aplikasi bahan organik akan menekan penggunaan pupuk anorganik (Siwanto and Melati, 2015).

Penanaman padi dilakukan melalui tabur (direct seeded) dengan drone seperti di negara negara maju seperti Amerika Serikat, maka biaya tanam juga tereduksi secara signifikan.

Pendekatan tanam tebar akan memerlukan volume benih tiga kali lipat dibandingkan kebutuhan normal.

Namun demikian, populasi padi akan meningkat minimal 200 persen, sehingga produksi per hektar ditargetkan minimal 8-10 ton GKG/hektar.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com