LAMPUNG, KOMPAS.com - Tumpukan kardus menumpuk di sudut ruangan berukuran sekitar 4x4 meter. Di sudut lain, tumpukan kertas HVS berjajar dengan sebuah catatan di atasnya.
"(Barang bekas) ini masih punya nilai ekonomis, masih bisa dijual. Kertas-kertas ini saya dapat dari sekolah-sekolah di sekitar sini," tutur Anwar, pegiat Bank Sampah Abri Ceria Kota Metro saat ditemui akhir pekan lalu.
Saat bercerita, seorang pemulung terlihat mengaduk kotak kayu berisi barang bekas dari plastik yang ada di bagian depan lokasi.
Baca juga: Pemerintah: PLN Wajib Beli Listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Sampah
"Itu bukan sampah, Pakde, sampeyan cari yang seperti itu bawa ke sini, nanti aku beli," serunya dalam bahasa Jawa kepada pemulung itu.
"Nah, kalau yang bekas-bekas botol air mineral, gelas kemasan itu banyak dapat dari masyarakat sini, Mas. Biasanya mereka ngumpulin dulu di rumah, setelah banyak baru dibawa ke sini," kata dia.
Bank Sampah Abri Ceria di Kelurahan Iringmuyo, Kota Metro memiliki kisah sendiri dalam perjalanannya menjadi bank sampah. Pegiatnya, Anwar, sebelumnya merupakan seorang bankir di salah satu bank di Kota Metro, Lampung.
Bank Sampah Abri Ceria ini awalnya adalah sebuah lapak barang bekas yang dikelola oleh orangtuanya, sekitar tahun 1985 silam.
Baca juga: Dukung Daur Ulang, Tokio Marine Life Gandeng Bank Sampah ASA
“Jadi sejarahnya, bank sampah ini adalah usaha orangtua, pengepul barang bekas dari tahun 1985-an,” kata Anwar.
Meski disebut “pengepul”, lapak itu sendiri belum bisa dikatakan pengumpul barang bekas. Karena hanya bersifat transit saja. Barang datang dan langsung dijual kembali ke pengepul besar oleh orangtua Anwar.
“Ya karena faktor pengangkutan, tidak ada bisa banyak-banyak. Baru sekitar tahun 2000-an, sudah bisa jual-beli,” katanya.