JAKARTA, KOMPAS.com - Banyak pakar dan perencana keuangan menyarankan untuk menemukan keseimbangan antara hidup di masa sekarang dan mempersiapkan masa depan.
Bayar tagihan dan utang, biasakan menabung dana darurat dan untuk masa pensiun. Namun bagi sebagian besar dari kita, uang yang tersisa tidak cukup untuk ditabung dengan nyaman.
Hal ini yang melatarbelakangi banyak Gen Z melakukan gerakan soft saving. Soft saving menekankan perkembangan diri dan kesehatan mental dibandingkan mengkhawatirkan keamanan finansial atau status di kemudian hari.
Baca juga: Tips Menabung dengan Gaji UMR Bagi Para Perantau di Jakarta
“Pilihan antara memprioritaskan kualitas hidup dibandingkan kesehatan finansial jangka panjang merupakan pilihan pribadi, dan semuanya bergantung pada nilai dan keadaan masing-masing individu,” kata Bola Sokunbi, pendiri Clever Girl Finance, dikutip dari CNET, Selasa (5/3/2024).
Soft saving adalah bentuk dari "soft living,” sebuah gaya hidup yang berfokus pada pemenuhan kebutuhan, menetapkan batasan, dan meninggalkan budaya kerja tradisional yang sibuk.
Soft saving berfokus pada lebih sedikit beban pada mengatur keuangan dan lebih sedikit tekanan pada investasi. Soft saving menolak apa yang dikejar oleh generasi-generasi sebelumnya dalam siklus naik-turun, sukses atau gagal.
Dalam banyak hal, sikap tersebut dicontohkan oleh gerakan FIRE, yang merupakan singkatan dari financial independence, retire early alias “kemandirian finansial, pensiun dini."
Baca juga: Simak, Persiapan dan Tips Menabung bersama Pacar untuk Menikah
Dalam Prosperity Index Study yang dilakukan oleh Intuit, Gen Z memimpin tren ini. Mereka memiliki pendekatan yang lebih lembut terhadap kehidupan dan keuangan.
Menurut penelitian, 3 dari 4 Gen Z mengatakan mereka lebih memilih kualitas hidup yang lebih baik daripada uang ekstra di bank.