Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pelemahan Rupiah Berlanjut?

Pada Jumat 13 Oktober, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat ditutup melemah lagi. Sebenarnya sebelumnya mulai menguat, namun kemudian melemah lagi pada aklhir minggu.

Nilai tukar rupiah bertengger di Rp 15.727 per dollar AS pada Jumat (13/10) pagi. Mata uang Indonesia tersebut melemah 28 poin atau minus 0,18 persen dari posisi sebelumnya.

Bagaimana dengan mana uang di negara lainnya?

Pada Jumat minggu lalu, sebagian besar mata uang di kawasan negara Asia bergejolak di area merah. Won Korea Selatan, Peso Filipina, Baht Thailand dan Ringgit Malaysia melemah. Dollar Singapura dan Yen Jepang juga melemah terhadap dollar AS.

Berbeda dengan negara berkembang, negara maju mengalami apresisasi nilai mata uang. Nilai mata uang negara maju juga serentak menguat. Poundsterling Inggris dan dollar Australia menguat terhadap dollar AS.

Lalu, Euro Eropa mengalami plus, Dollar Kanada dan Franc Swiss masing-masing juga mengalami penguatan terhadap dollar AS.

Sentimen utama yang mendorong Rupiah dan mata uang negara-negara berkembang melemah adalah data inflasi September 2023.

Data yang dirilis oleh Biro Statistik AS melaporkan indeks harga konsumen tahunan tercatat sebesar 3,7 persen pada September 2023, tidak ada penurunan dari bulan sebelumnya.

Angka inflasi tahunan tersebut lebih tinggi daripada proyeksi ekonom global, yakni sebesar 3,6 persen.

Di AS, inflasi Agustus sempat melambat dari 0,6 persen menjadi 0,4 persen. Masih sama, penyebabnya terjadinya inflasi atau deflasi sebagian disebabkan oleh harga energi.

Sementara itu, inflasi inti bulanan, tanpa perhitungan volatilitas harga energi dan pangan, tetap stabil di angka 0,3 persen. Inflasi inti tahunan turun dari 4,3 persen menjadi 4,1 persen.

Data inflasi tersebut membuat pasar kecewa karena ekonomi AS masih diklategorikan “panas”. Kondisi ini bisa berujung pada ketatnya kebijakan bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) ke depan.

Inflasi September masih di atas target sasaran The Fed, yakni 2 persen.

Dampak perkembangan Rupiah

Perlemahan Rupiah tentu akan memengaruhi inflasi yang bersumber dari impor. Inflasi di Indonesia akhir-akhir ini cenderung menurun karena efektivitas kebijakan moneter dalam melakukan pengendalian inflasi, dan fungsi kebijakan fiskal sebagai “shock absorber” terutama terhadap kenaikan harga energi dan pangan global.

Berbeda dengan beberapa negara lain yang membebankan kenaikan harga energi dan pangan kepada masyarakat, di Indonesia, kenaikan tersebut diserap oleh belanja APBN. Tentu pasar memantau sampai seberapa kekuatan APBN kita.

Penurunan volatilitas rupiah akan sangat tergantung pada kemampuan Bank Indonesia untuk mengendalikan peredaran uang dengan berbagai kebijakan makro dan mikro prudensial.

Pergerakan rupiah yang berlebihan tentu juga memengaruhi ketidakstabilan pasar keuangan, seperti suku bunga perbankan, harga saham pasar modal dan pengembalian obligasi serta orientasi investasi portofolio di dalam dan di luar negeri.

Kedepan Rupiah diperkirakan masih akan melemah terhadap dollar AS yang diiringi juga dengan perkiraan meningkatkan imbal hasil obligasi AS menarik dana masuk ke AS.

Kondisi makro ekonomi Indonesia masih cukup kuat. Premi risiko CDS (credit default swap) Indonesia 5 tahun pada oktober 2023 adalah 94 bps, menurun dibandingkan sebelumnya sebesar 97 bps. Artinya investor masih menganggap risiko investasi portofolio di Indonesia menurun.

Di pasar modal, investor asing di pasar keuangan domestik melakukan aksi jual neto Rp 4,32 triliun, terdiri dari jual neto Rp 4,62 triliun di pasar obligasi negara, jual neto Rp 0,10 triliun di pasar saham.

Selama 2023, investor asing melalukan aksi beli neto di atas Rp 50 triliun di pasar SBN, jual neto di atas Rp 7 triliun di pasar saham, dan beli neto sekitar Rp 9 triliun di SRBI (Sekuritas Rupiah Bank Indonesia).

Yang cukup mengkhawatirkan adalah penurunan nilai cadangan devisa. Posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir September 2023 menurun sekitar 2,5 miliar dollar AS dari posisi akhir Agustus 2023 sebesar 137 miliar dollar AS.

Penurunan tersebut antara lain disebabkan pembayaran utang luar negeri pemerintah dan perlunya stabilisasi nilai tukar Rupiah sebagai upaya mengantisipasi dampak limpahan ketidakpastian pasar keuangan global yang semakin meningkat.

Posisi cadangan devisa tersebut masih setara di atas 6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Jumlah bulan tersebut masih di atas standar kecukupan internasional yang berkisar tiga bulan impor.

Bank Indonesia menilai, jumlah cadangan devisa saat ini mampu mendukung kemampuan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.

Minggu ini, Bank Indonesia akan melakukan pertemuan resmi bulanan Dewan Gubernur untuk menentukan arah kebijakan moneter yang menjadi jangkar bagi kebijakan makro pelaku sektor keuangan dan pasar modal.

Dalam jangka pendek tidak ada salahnya Bank Indonesia melakukan kebijakan agresif untuk memukul aksi para spekulen di pasar uang dan pasar modal.

Dalam jangka menengah, BI diharapkan untuk terus berusaha memperdalam investasi portofolio agar tidak terjadi pelarian dana keluar terlalu cepat, bahkan menarik dana asing untuk memperkuat stabilitas rupiah kedepan. Kita tunggu gebrakannya.

https://money.kompas.com/read/2023/10/16/060655126/pelemahan-rupiah-berlanjut

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke