JAKARTA, KOMPAS.com - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo telah menghitung dampak wabah virus corona (Covid-19) terhadap perekonomian nasional.
Penghitungan itu dilakukan bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dengan beragam skenario, seperti skenario moderat, skenario berat, dan skenario sangat berat.
Dia mengaku, wabah virus corona memaksanya berkoordinasi intens secara maraton hingga hari Sabtu dan Minggu pada akhir Maret 2020.
Baca juga: BI Yakin Aliran Modal Asing Makin Deras di Akhir Tahun 2020
Sebab saat itu, jumlah kasus positif virus corona semakin bertambah dan banyak wilayah yang telah melakukan karantina lokal.
"Kami secara intens maraton berkoordinasi penuh dengan pemerintah (Kemenkeu), dengan OJK, dan LPS. Pada minggu terakhir Maret setelah kasus positif naik terus. Kami melihat asesmen bagaimana menanganinya," kata Perry dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, Rabu (8/4/2020).
Perry berseloroh perhitungan skenario moderat hingga sangat berat yang digunakan diibaratkan seperti fenomena banjirnya Nabi Nuh hingga setinggi gunung.
Fenomena banjir pada masa itu tentu memiliki beragam risiko, sama seperti wabah virus corona yang memaksa pemerintah membuat "kapal Nabi Nuh" (payung aturan).
Baca juga: Ini Alasan BI Belum Berencana Turunkan Suku Bunga Acuan Lagi
"Kalau kita ukur waktu itu, oke skenario moderat itu kalau banjirnya sampai atap rumah. Kita juga ukur kalau banjirnya sampai gedung, itu skenario berat. Sampai kalau wabahnya kemudian sampai gunung, itu sangat berat yang tempo hari kita diskusikan ini," ungkap Perry.
Perhitungan skenario menggunakan beragam data, salah satunya data perkembangan kasus dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang disampaikan Sri Mulyani kepadanya.
Skenario dikategorikan berdasarkan lamanya durasi penyebaran virus. Bila durasi berlangsung hingga Juni dikategorikan sebagai skenario berat, bila berlangsung hingga September dikategorikan sebagai skenario sangat berat.
"Dari situ kita lihat, kalau terjadi pembatasan dalam durasi 3 bulan ke depan, bagaimana nasibnya rakyat? Bagaimana orang yang enggak bisa bekerja? Bagaimana kemudian bantuan tidak hanya ke penerima bansos, tapi ke pekerja," ujar Perry.
Baca juga: BI Masih Yakin Defisit Transaksi Berjalan 2020 Hanya 2,5 - 3 Persen
Untuk menstimulus ekonomi di tengah wabah, Perry bersama Sri Mulyani dan lembaga keuangan lainnya menghitung kebutuhan dana nasional yang bisa diberikan pemerintah kepada rakyat sebagai stimulus.
Usai dijumlah, defisit fiskal membengkak jadi 5,07 persen.
Untuk menutupi defisit, pihaknya bersama pemerintah kembali putar otak untuk memaksimalkan dana dari dana abadi (endowment fund), Sisa Lebih Anggaran (SAL), BLU, dan pinjaman dari lembaga keuangan internasional.
"Tapi kurang. Kemudian berapa butuhnya kalau untuk mengeluarkan Surat Utang Negara (SUN) atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)? Berapa global bond dan domestic bond lagi yang bisa? Nah ini kami buat skenario," jelas Perry.
Baca juga: Jaga Stabilitas Rupiah, BI Ajak Eksportir Tukarkan Dollar AS
Bila pasar tidak mampu menyerap, nantinya BI diberikan kewenangan untuk membeli SUN maupun SBSN di pasar perdana (pasar primer) sebagai the last resort.
Hal itu diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ( Perppu) No 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.