Susi menyebutkan, pemerintah harus bertindak cepat dan tegas karena dugaan perbudakan itu dapat berdampak besar bagi produk-produk perikanan asal Indonesia.
Baca juga: Heboh Perbudakan ABK Indonesia di Kapal China, Bu Susi Jadi Trending
Hal itu karena Uni Eropa dan Amerika Serikat mengancam akan memboikot produk-produk perikanan Indonesia yang dihasilkan dari kegiatan perbudakan.
Satgas 115 yang saat itu dibentuk untuk memberantas penangkapan ikan ilegal dan segala kejahatan di dalamnya, langsung turun tangan melakukan penyelidikan, penyidikan, hingga penyekapan.
Susi beserta jajarannya mendapati 322 ABK asing terdampar di sekitaran pabrik PT Pusaka Benjina Resources (PBR) di Benjina. Mereka mengalami kekerasan fisik alih-alih upahnya dibayar.
Sementara itu, kepolisian Daerah Maluku berhasil mengungkap kasus penjualan warga negara asing ke PT PBR. Dalam kasus tersebut, 4 orang telah dinyatakan sebagai tersangka.
Baca juga: Isu Perbudakan, Menteri Susi Larang Pengiriman Produk Perikanan dari Benjina
Salah satu tersangka adalah Direktur PT PBR Hermanwir Martino. Adapun tiga tersangka lain adalah Hatsaphon Phaetjakreng dan Boonsom Jaika, warga Negara Thailand, dan Muclis staf Quality Control PT PBR.
Harian Kompas tanggal 27 November 2017 mengungkap, pemerintah Indonesia segera bekerja sama dengan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) untuk memulangkan seluruh korban ke negara masing-masing.
Presiden RI Joko Widodo meminta Susi berkoordinasi dengan kementerian terkait dan Pusat Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Jokowi ingin mengetahui hal-hal di balik praktik illegal fishing, termasuk arus keuangan di balik bisnis melanggar hukum tersebut.
"Harus diikuti arus keuangannya seperti apa, data keuangannya seperti apa, sehingga tindakan-tindakan yang dilakukan kementerian itu ada fakta–fakta yang dipakai. Kita ingin agar keseriusan ini diteruskan," ucap dia.
Baca juga: Seandainya Susi Pudjiastuti Jadi Menteri Kesehatan...
Ada sindikasi, praktik suap dari pihak perusahaan kepada para petugas di lapangan. Harian Kompas 7 Mei 2015 melaporkan, ada oknum pengawas dari Kementerian Kelautan dan Perikanan ( KKP) yang memantau usaha perikanan PT PBR sering melakukan pungutan liar.
Oknum pengawas perikanan mewajibkan tiap kapal yang mengajukan surat laik operasi (SLO) membayar Rp 250.000. Selain SLO, mereka juga mewajibkan setiap kapal ekspor membayar Rp 5 juta.
Praktik penyuapan kepada aparat Indonesia ini ternyata juga sudah dirilis lebih awal oleh Bangkok Post (26/3/2015) dalam berita berjudul ”Captain will fish in Indonesia waters."