Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

PGN Kalah Sengketa Pajak, Ini Respon Stafsus Erick Thohir

Kompas.com - 04/01/2021, 18:59 WIB
Akhdi Martin Pratama,
Ambaranie Nadia Kemala Movanita

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga angkat bicara terkait PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) yang kalah dalam sengketa pajak melawan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan di tingkat Mahkamah Agung (MA). 

Menurut Arya, sengketa pajak antara PGN dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tersebut sebenarnya merupakan perkara lama.

“Ini kan kasus pajak tahun 2012, ketika di pengadilan pajak mereka (PGN) menang, tapi kan ada ketentuan bahwa teman-teman dari Kementerian Keuangan harus masuk ke PK, itu ketentuannya. Nah ketika PK, MA memutuskan itu menang,” ujar Arya, Senin (4/1/2021).

Baca juga: Kalah Sengketa Pajak Lawan DJP, PGN Wajib Bayar Rp 3,06 Triliun

Arya menambahkan, sebelum adanya putusan dari Mahkamah Agung (MA), sudah ada aturan terkait hal tersebut yang dikeluarkan oleh DJP.

Dalam aturan itu, kata Arya, DJP menyebut perkara dengan PGN ini bukan merupakan kategori objek pajak.

“Jadi langkah yang akan kami lakukan adalah ada dua, yang pertama kami akan bicarakan hal ini ke Kementerian Keuangan karena mereka sudah mengakui bahwa ini bukanlah objek pajak. Jadi Kementerian BUMN akan melakukan pembicaraan dengan Kemenkeu,” kata dia.

Selanjutnya, kata Arya, pihaknya akan meminta PGN untuk kembali mengambil langkah hukum terkait keputusan dari MA ini.

Sebab, perkara ini bukan merupakan objek pajak.

Baca juga: Perkuat Bisnis Perusahaan, PGN Perluas Infrastruktur Gas Bumi

“Kenapa bukan objek pajak? Karena selama ini PGN itu tidak mengutip pajak terhadap konsumen yang membeli gas tersebut. Kalau tadi misalnya PGN mengutip pajak dari konsumennya, tidak membayar kepada negara untuk pajaknya, mungkin PGN-nya salah,” ungkap Arya.

Arya pun optimistis permasalahan ini bisa segera diselsaikan. Sehingga, hal ini tidak akan merugikan PGN.

“Jadi kita sih optimis ini bisa dilakukan dan tidak akan membuat PGN rugi karena ada langkah-langkah yang kita lakukan dan kita yakin di Kemenkeu akan mensupport kita juga untuk hal ini,” ujar dia.

Sebelumnya, Dalam penjelasan keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagaimana dikutip pada Senin (4/1/2021), sengketa pajak antara PGN dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tersebut sebenarnya merupakan perkara lama.

Perkara yang diperselisihkan yakni atas transaksi tahun pajak 2012 dan 2013 yang telah dilaporkan di dalam catatan laporan keuangan perseroan per 31 Desember 2017.

Baca juga: Alami “Triple Shock”, PGN Tetap Jaga Kinerja Keuangan dengan Pendapatan Rp 31,51 Triliun

"Sengketa tahun 2012 berkaitan dengan perbedaan penafsiran dalam memahami ketentuan perpajakan yaitu PMK-252/PMK.011/2012 (PMK) terhadap pelaksanaan kewajiban pemungutan PPN atas penyerahan gas bumi," kata Sekretaris Perusahaan PGN, Rachmat Hutama.

PGN menyebut, sengketa tahun 2013 berkaitan dengan perbedaan pemahaman atas mekanisme penagihan perseroan.

Pada Juni 1998 Perseroan menetapkan harga gas dalam dollar AS/MMBTU dan Rp/M3 disebabkan oleh melemahnya nilai tukar mata uang rupiah terhadap dollar AS, yang sebelumnya harga gas dalam Rp/M3 saja.

Rachmat bilang, DJP berpendapat porsi harga Rp/M3 tersebut sebagai penggantian jasa distribusi yang dikenai PPN, sedangkan perseroan berpendapat harga dalam dollar AS/MMBTU dan Rp/M3 merupakan satu kesatuan harga gas yang tidak dikenai PPN.

Belakangan, atas penafsiran tersebut, DJP kemudian menerbitkan 24 Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan total nilai sebesar Rp 4,15 triliun untuk 24 masa pajak.

Baca juga: Terus Cuan, Amankah Parkir Dana di Bitcoin Sekarang?

Selain sengketa soal kurang bayar dalam PPN tersebut, perusahaan dengan DJP juga berselisih soal jenis pajak lainnya periode tahun 2012-2013 melalui penerbitan 25 SKPKB dengan total nilai sebesar Rp 2,22 miliar.

Menurut Rachmat, PGN sebelumnya sudah mengajukan upaya hukum berkeberatan, namun kemudian keberatan tersebut ditolak oleh DJP.

"Selanjutnya, pada tahun 2018, perseroan mengajukan upaya hukum banding melalui Pengadilan Pajak dan pada tahun 2019 Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan seluruh permohonan banding perseroan dan membatalkan ketetapan DJP atas 49 SKPKB," kata Rachmat.

Atas putusan Pengadilan Pajak tersebut, pada tahun 2019, DJP mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) kepada Mahkamah Agung.

Atas upaya pengajuan PK oleh DJP untuk 49 SKPKB pada angka 1 saat ini terdapat 30 Putusan MA dalam website MA yang menginformasikan permohonan PK yang diajukan DJP telah diputuskan dikabulkan dengan nilai sengketa Rp 3,06 triliun.

Baca juga: UMKM dan Milenial Bisa Dapat Modal Usaha lewat Securities Crowdfunding

Namun, Perseroan belum menerima salinan Putusan MA sesuai prosedur yang ditetapkan dalam UU Mahkamah Agung.

"Perseroan memiliki potensi kewajiban membayar pokok sengketa sebesar Rp 3,06 triliun ditambah potensi denda. Namun demikian, perseroan tetap berupaya menempuh upayaupaya hukum yang masih memungkinkan untuk memitigasi putusan MA tersebut," jelas Rachmat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com