Sayang pemikiran itu sangat keliru karena mengesampingkan fakta industri kapal dan galangan di Indonesia kepulauan yang berkembang tak hanya di Batam.
Masalah lainnya, tentu saja ini yang seharusnya jadi perhatian pemerintah karena jika melihat RPP Kawasan Ekonomi Khusus UU Ciptaker tak ubahnya sekadar menyalin gula-gula FTZ yang selama ini menciptakan ketidakadilan.
Penulis melihat penerapan regulasi FTZ yang terlihat menjadi semangat RPP Kawasan Ekonomi Khusus bakal menyebabkan investor asing pun kebingungan dalam ketidakpastian regulasi.
Salah satu investor luar negeri adalah Posco, perusahaan besi dan baja asal Korea Selatan yang berencana membenamkan sedikitnya Rp 42 triliun melalui kerjasama dengan BUMN PT Krakatau Steel sehingga melahirkan entitas baru PT Krakatau Posco.
Adanya regulasi di KEK dan FTZ/FPZ membuat PT Krakatau Posco mengajukan keberatan atas kebijakan pemerintah mengecualikan bea masuk dalam rangka trade remedies yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2012 (PP 10/2012).
Pertanyaan akan muncul, kenapa Krakatau Posco mengajukan keberatan?
Dalam penjelasan Pasal 14 disebutkan bahwa “Termasuk dalam pengertian bea masuk adalah bea masuk antidumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan bea masuk pembalasan”.
Penjelasan yang terdapat dalam Pasal 14 ini sangat tidak tepat karena pengenaan bea masuk antidumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan bea masuk pembalasan (trade remedies) tidak dapat diklasifikasikan sebagai bea masuk.
Upaya Krakatau Posco gagal karena ditolak Mahkamah Agung yang mengabaikan catatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perihal potensi kehilangan pendapatan negara per tahun akibat penerapan regulasi tersebut sebagai akibat membanjirnya impor baja dari China, Ukraina dan Singapura.
Perlu diketahui, baja impor murah yang menjadi bahan baku kapal itu yang membuat produksi kapal di luar KEK dan FTZ/FPZ menjadi susah bersaing.
Mudah saja, bagaimana produsen kapal di Surabaya, Jakarta atau wilayah lain bisa bersaing jika bahan bakunya saja sudah lebih mahal dibanding produsen kapal di Batam yang menjadi KEK dan FTZ/FPZ.
Padahal berdasarkan Pasal VI GATT 1994 salah satu bentuk perdagangan curang adalah Dumping. Dalam ayat (1) Pasal VI GATT 1994 didefinisikan Dumping sebagai, “… products of one country are introduced into the commerce of another country at less than the normal value of the products, is to be condemned if it causes or threatens material injury to an established industry in the territory of a contracting party or materially retards the establishment of a domestic industry.”
Dalam menghadapi perdagangan curang, negara diperbolehkan membuat kebijakan yang merupakan Trade Remedies.
Trade Remedies adalah suatu kebijakan yang memungkinkan pemerintah suatu negara mengambil tindakan perbaikan terhadap impor dari pelaku usaha negara lain yang menyebabkan kerugian bagi industri domestik.
Baca juga: Auri Steel Investasi Rp 69 Miliar di Kawasan Industri Kendal
Dalam Explanatory Notes dari Agreement Establishing the WTO disebutkan bahwa, “The terms "country" or "countries" as used in this Agreement and the Multilateral Trade Agreements are to be understood to include any separate customs territory Member of the WTO.”
Intinya berdasarkan Explanatory Notes ini maka istilah Negara termasuk wilayah khusus dari negara anggota, di sini termasuk kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas.
Sudah sepatutnya Pemerintah bijak dalam membuat berbagai rancangan peraturan pelaksanaan dari UU Citaker sehingga tidak menciderai tujuan dari UU Citaker karena akan membuat investor berpikir ulang tentang keberlangsungan bisnis mereka.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.