Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Uni Eropa, Gigih Tolak Sawit Indonesia, Tapi Butuh Nikelnya

Kompas.com - 15/01/2021, 20:38 WIB
Muhammad Idris

Penulis

Sumber Kompas.com

JAKARTA, KOMPAS.com - Uni Eropa kembali melanjutkan sengketa atas kebijakan larangan ekspor bijih nikel yang dikeluarkan pemerintah Indonesia. Kini Uni Eropa mendesak Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk membentuk panel guna membahas sengketa tersebut (Uni Eropa gugat RI soal nikel). 

Merespon perlawanan Uni Eropa tersebut, Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi mengatakan, Indonesia siap menghadapi gugatan Uni Eropa atas kebijakan larangan ekspor bijih nikel yang ditetapkan pemerintah Indonesia.

Menurut Lutfi, Indonesia baru mendapatkan notifikasi bahwa Uni Eropa tetap akan melanjutkan proses sengketa ke WTO yang jadi wasit perdagangan antar-negara itu. 

"Tentunya kami sangat kecewa bahwa sudah ada konsultasi yang begitu lama. Tetapi ini bagian dari pada interaksi kita dengan dunia internasional, kita akan layani dan jalankan tuntutan tersebut," ujar Lutfi dalam keterangannya, Jumat (15/1/2021).

Baca juga: Mengintip Gaji Per Bulan Komjen Listyo Sigit Sebagai Calon Kapolri

Sebagai informasi, gugatan Uni Eropa itu didasarkan pada anggapan bahwa kebijakan pemerintah Indonesia terkait larangan ekspor bijih nikel telah menyulitkan pihak Uni Eropa untuk bisa berkompetisi dalam industri baja di dunia.

Khususnya kebijakan terkait produk bijih nikel yang menjadi bahan baku dari stainless steel. Dalam persaingan itu, Indonesia telah mampu menjadi negara penghasil stainless steel terbesar kedua setelah China.

Perang dagang antara Uni Eropa dengan Indonesia terkait regulasi UU minerba tersebut sebenarnya merupakan sengketa lama.

Gugatan Uni Eropa ke WTO sudah mulai dilayangkan pada awal tahun 2020. Ini karena larangan ekspor bijih nikel dari Indonesia mulai berlaku di tahun 2020.

Baca juga: Mengenal Nikel, Logam yang Disamakan Edhy Prabowo dengan Lobster

Ini tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM nomor 11 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara.

Saat itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku tak mempermasalahkan gugatan Uni Eropa tersebut. Menurutnya, selama ini Indonesia tak mendapatkan banyak nilai tambah karena puluhan tahun hanya mengekspor bijih mineral mentah.

"Pak, kita mau tarung, apapun kita hadapi. Kita hentikan ekspor nikel ore keluar, ini sudah digudat sama Uni Eropa, digugat di WTO," kata Jokowi di Musrenbang RPJMN di Istana Negara, pada 16 Januari 2020.

"Kalalu defisit transaksi berjalan sudah beres siapapun yang gugat kita hadapi. Tapi ini juga kita hadapi, ngapain kita takut?" ujar dia lagi.

Baca juga: RI Siap Hadapi Gugatan Uni Eropa soal Larangan Ekspor Nikel

Menurutnya, alasan larangan ekspor mineral mental sejalan dengan upaya hilirisasi agar industri peleburan dan pemurnian (smelter) di dalam negeri bisa berjalan.

Dengan nilai tambah dari mineral mentah yang diolah dalam negeri, juga bisa menambah lapangan kerja serta memperbaiki defisit neraca berjalan.

Ini tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM nomor 11 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara.

"Barang, barang kita, nikel, nikel kita, mau ekspor mau enggak suka-suka kita. Ya, enggak?" lanjut dia.

Baca juga: Disinggung Luhut Jadi Incaran Dunia, Apa Itu Rare Earth?

Program hilirisasi tambang mineral, kata Jokowi, dilakukan bertahap. Bahkan di masa mendatang, pemerintah juga akan melarang ekspor bijih mentah lain selain nikel.

Nilai ekspor bijih nikel Indonesia mengalami peningkatan tajam dalam beberapa tahun terakhir. Tercatat, ekspor bijih nikel Indonesia naik signifikan sebesar 18 persen pada kuartal kedua 2019 dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2017.

Menolak sawit

Selain jadi tergugat dalam kasus nikel, Indonesia juga berposisi sebagai penggugat di WTO dalam sengketa ekspor minyak sawit dan produk turunannya seperti biodiesel.

Pada 9 Desember 2019 lalu, Pemerintah Indonesia melalui Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di Jenewa, Swiss resmi mengajukan gugatan terhadap Uni Eropa di WTO.

Baca juga: Seperti Apa Keberadaan Logam Tanah Jarang di Indonesia, Ini Kata ESDM

Gugatan diajukan terhadap kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation UE. Kebijakan-kebijakan tersebut dianggap mendiskriminasikan produk kelapa sawit Indonesia.

Diskriminasi dimaksud berdampak negatif terhadap ekspor produk kelapa sawit Indonesia di pasar UE.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Indrasari Wisnu Wardhana menjelaskan, melalui kebijakan RED II, UE mewajibkan mulai tahun 2020 hingga tahun 2030 penggunaan bahan bakar di UE berasal dari energi yang dapat diperbarui.

Selanjutnya, Delegated Regulation yang merupakan aturan pelaksana RED II mengategorikan minyak kelapa sawit ke dalam kategori komoditas yang memiliki Indirect Land Use Change (ILUC) berisiko tinggi.

Baca juga: Permintaan Nikel Melonjak, Begini Prospek Saham ANTM yang Diramal Kaesang Bakal Cuan

Akibatnya, biofuel berbahan baku minyak kelapa sawit tidak termasuk dalam target energi terbarukan UE, termasuk minyak kelapa sawit Indonesia.

"Pemerintah Indonesia keberatan dengan dihapuskannya penggunaan biofuel dari minyak kelapa sawit oleh UE. Selain akan berdampak negatif pada ekspor minyak kelapa sawit Indonesia ke UE, juga akan memberikan citra yang buruk untuk produk kelapa sawit di perdagangan global," ujar Wisnu.

Data statistik BPS menunjukkan nilai ekspor minyak kelapa sawit dan biofuel/Fatty Acid Methyl Ester (FAME) Indonesia ke Uni Eropa menunjukkan tren negatif pada lima tahun terakhir.

Nilai ekspor FAME mencapai 882 juta dollar AS pada periode Januari–September 2019, atau menurun 5,58 persen dibandingkan periode yang sama di tahun 2018 sebesar 934 juta dollar AS.

Sementara nilai ekspor minyak kelapa sawit dan FAME ke dunia juga tercatat melemah 6,96 persen dari 3,27 miliar dollar AS pada periode Januari–September 2018 menjadi 3,04 miliar dollar AS secara tahunan (year on year).

Baca juga: Perusahaan China Rayu Freeport Bangun Smelter di Halmahera

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com