Perluasan akses melalui dua jalur tersebut diatur dalam peraturan lebih lanjut.
Baca juga: Government Use, Alternatif Solusi untuk Kemandirian Vaksin Covid-19
Contoh lain, dalam UU No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, diatur bahwa hak eksklusif yang melekat dalam pemegang/pemilik hak cipta dapat direduksi dan diberikan kesempatan yang lebih luas untuk digunakan oleh masyarakat tanpa harus membayar royalti misalnya penggunaan karya hak cipta untuk kepentingan Pendidikan, Pelatihan, Penelitian yang mana penggunaan karya cipta tersebut tetap harus menghormati hak moral dari Pencipta.
Dengan memahami konsep HKI secara utuh, maka sebenarnya HKI memberikan banyak manfaat dan peluang bagi produsen maupun pengguna HKI. Pertentangan yang selama ini berkembang di masyarakat bahwa jika suatu karya sudah dilindungi HKI-nya maka dibutuhkan biaya yang relatif mahal untuk mengaksesnya dapat dikurangi.
Penggunaan karya ber-HKI adalah hak bagi setiap masyarakat dimana masyarakat diberikan pilihan-pilihan bahwa mengakses HKI dapat dilakukan dengan mekanisme alih teknologi (penggunaan berbayar dengan lisensi), akses yang tak berbayar melalui jalur yang telah diberikan oleh Undang-Undang mengenai pengecualian atas hak eksklusif HKI.
Meskipun, dalam akses HKI melalui alih teknologi namun biaya lisensi adalah hasil proses negosiasi yang seimbang dan proporsional antara pemilik dan calon pengguna HKI. Selain itu, sifat perlindungan HKI adalah memiliki batasan.
Setelah jangka waktu perlindungan habis dan tidak ada mekanisme perpanjangan, maka HKI tersebut telah habis hak eksklusifnya secara ekonomi (public domain). Pengguna dapat mengeksploitasi secara ekonomi HKI yang telah public domain tanpa harus membayar sejumlah royalti/biaya lisensi. Namun, perlu selalu diingat bahwa hak moral tetap akan melekat selamanya kepada pencipta/penemu/pendesain/pemulia tanaman.
Pemahaman yang utuh dan mendasar dari konsep HKI ini akan memberikan jalan bagi rezim HKI bahwa sebenarnya HKI adalah sangat dekat dan memberikan banyak manfaat kepada masyarakat.
Baca juga: Hak Kekayaan Intelektual Penting untuk Brand Lokal
Kesan monopoli dan eksklusif dari HKI yang membuat bahwa konsep perlindungan HKI adalah tidak relevan khususnya di negara berkembang adalah tidak tepat. Negara berkembang justru harus mengoptimalkan pemanfaatan atas HKI dengan segala jalur pilihan pemanfaatannya sehingga mampu menjadi sumber inspirasi untuk inovasi yang berkelanjutan.
Negara pengguna dapat memanfaatkan HKI tanpa harus memulai riset dan pengembangan dari awal yang akan menghabiskan banyak biaya, tenaga dan waktu. Lebih jauh, daya saing dan keunggulan suatu negara salah satunya ditentukan oleh HKI yang dihasilkan dan dimanfaatkan.
Jangan sampai negara berkembang, termasuk Indonesia hanya menjadi destinasi pasar dan permohonan HKI dari luar negeri. Kita juga harus menjadi tuan rumah di negeri sendiri bahwa selain menjadi pengguna HKI kita juga harus menjadi produsen HKI.
Akhirnya, penghargaan kepada pemilik/produsen HKI tetap harus dijamin secara hukum namun tanpa meninggalkan keadilan mesyarakat luas untuk tetap diberikan kesempatan akses yang lebih mudah atas HKI melalui perangkat peraturan yang mendukung.
Jika konsep keseimbangan ini dapat dipertemukan dengan adil dan proporsional maka akan menumbuhkan sistem perlindungan HKI yang ideal dan mampu menumbuhkan iklim inovasi dan persaingan yang sehat.
Sikap “sinis” terhadap monopoli dan eksklusif HKI yang selama ini mungkin masih dipahami oleh sebagian pihak, telah dapat dikikis melalui penerapan asas keseimbangan dalam rezim HKI. Intellectual Property is the art of compromised.
Ferianto
Peneliti Pusat Penelitian Kebijakan dan Manajemen Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Inovasi LIPI