Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah Godok Pajak Karbon, Tarifnya Diprediksi 5-10 Persen

Kompas.com - 03/06/2021, 07:07 WIB
Fika Nurul Ulya,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah sedang mempertimbangkan penerapan pajak karbon (carbon tax) untuk mengembalikan defisit fiskal mencapai 3 persen pada tahun 2023. Lebih dari itu, penerapan pajak karbon merupakan upaya pemerintah menekan emisi.

Ekonom Bahana Sekuritas Putera Satria Sambijantoro memperkirakan, tarif pajak karbon kemungkinan dikenakan pada kisaran 5-10 persen.

Meski struktur pajaknya belum jelas, regulator telah mengumumkan akan mengenakan pajak karbon di beberapa industri, seperti pulp & kertas, semen, pembangkit listrik, serta industri petrokimia.

Baca juga: Siapkan Pasar Karbon, Pemerintah Godok Mekanisme Harganya

"Untuk negara berkembang seperti Indonesia, kami berpikir bahwa tarif karbon 5-10 dollar AS/ton CO2 akan masuk akal mengingat tarif yang lebih agresif di tempat lain," kata Satria dalam laporannya, Kamis (3/6/2021).

Adapun secara global, terdapat 61 inisiatif penetapan harga karbon yang telah dilaksanakan di 46 yurisdiksi nasional dan 32 sub-nasional, dengan tarif berkisar antara 1-119 dollar AS/ton CO2.

Biasanya, pendapatan yang dihasilkan dari penarikan pajak karbon digunakan untuk mendukung program energi bersih, menurunkan pajak, dan mengompensasi rumah tangga berpenghasilan rendah.

Nantinya pada tahun 2022, ada kemungkinan daftar industri di Indonesia yang terkena pajak karbon bakal diperluas ke sektor otomotif, minyak sawit, makanan & minuman (F&B), dan lain-lain.

"Untuk Indonesia, penerapan pajak karbon tampaknya lebih cenderung mengadopsi model ETS (cap-and-trade) mengingat kepastian harga dan implementasi yang lebih mudah untuk mendukung defisit anggaran," ungkap Satria.

Potensi pendapatan pajak karbon

Berdasarkan studi Bank Dunia (World Bank), pajak karbon domestik sebesar 30 dollar AS/ton CO2 akan meningkatkan sumber daya lebih dari 1,5 persen dari PDB.

Baca juga: Chatib Basri Sarankan Pengenaan Pajak Karbon

Satria berpandangan, penerapan pajak karbon akan berdampak luas pada ekonomi, baik dari sisi pendapatan dan inflasi. Dengan asumsi tarif pajak karbon yang dikenakan sebesar 5,10 dollar AS/ton CO2, pendapatan dari sektor ini bisa tembus hingga Rp 57 triliun.

Dengan kata lain, potensi pendapatan dari pajak karbon mungkin saja lebih besar dibandingkan pendapatan pajak perusahaan digital.

"Kami memperkirakan pendapatan pajak karbon pada tahun pertama implementasi sekitar Rp 29 triliun - Rp 57 triliun atau 0,2-0,3 persen dari PDB, dengan asumsi tarif pajak sekitar 5-10 dollar AS/tCO2 yang mencakup 60 persen emisi energi," ungkap Satria.

Namun Satria mengingatkan, pengenaan pajak karbon akan memiliki dampak negatif secara jangka pendek, yakni meningkatnya harga energi yang berdampak pada konsumsi rumah tangga.

Menurut perkiraan IMF, jika Indonesia menerapkan pajak karbon sebesar 75 dollar AS/tCO2 secara menyeluruh, harga energi rata-rata akan meningkat cukup besar.

"Harga domestik batu bara, gas alam, listrik, dan bensin masing-masing akan meningkat sebesar 239 persen, 36 persen, 63 persen, dan 32 persen," pungkas Satria.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

BNI Danai Akusisi PLTB Sidrap Senilai Rp 1,76 Triliun

BNI Danai Akusisi PLTB Sidrap Senilai Rp 1,76 Triliun

Whats New
Soroti Kinerja Sektor Furnitur, Menperin: Masih di Bawah Target

Soroti Kinerja Sektor Furnitur, Menperin: Masih di Bawah Target

Whats New
Harga Jagung Turun di Sumbawa, Presiden Jokowi: Hilirisasi Jadi Kunci Stabilkan Harga

Harga Jagung Turun di Sumbawa, Presiden Jokowi: Hilirisasi Jadi Kunci Stabilkan Harga

Whats New
IHSG Ditutup Merosot 1,61 Persen, Rupiah Perkasa

IHSG Ditutup Merosot 1,61 Persen, Rupiah Perkasa

Whats New
Emiten TPIA Milik Prajogo Pangestu Rugi Rp 539 Miliar pada Kuartal I 2024, Ini Sebabnya

Emiten TPIA Milik Prajogo Pangestu Rugi Rp 539 Miliar pada Kuartal I 2024, Ini Sebabnya

Whats New
BI Beberkan 3 Faktor Keberhasilan Indonesia Mengelola Sukuk

BI Beberkan 3 Faktor Keberhasilan Indonesia Mengelola Sukuk

Whats New
Pertemuan Tingkat Menteri OECD Dimulai, Menko Airlangga Bertemu Sekjen Cormann

Pertemuan Tingkat Menteri OECD Dimulai, Menko Airlangga Bertemu Sekjen Cormann

Whats New
Induk Usaha Blibli Cetak Pendapatan Bersih Rp 3,9 Triliun pada Kuartal I 2024

Induk Usaha Blibli Cetak Pendapatan Bersih Rp 3,9 Triliun pada Kuartal I 2024

Whats New
Kembali ke Aturan Semula, Barang Bawaan dari Luar Negeri Tak Lagi Dibatasi

Kembali ke Aturan Semula, Barang Bawaan dari Luar Negeri Tak Lagi Dibatasi

Whats New
Cek Tagihan Listrik secara Online, Ini Caranya

Cek Tagihan Listrik secara Online, Ini Caranya

Work Smart
Harga Beras Alami Deflasi Setelah 8 Bulan Berturut-turut Inflasi

Harga Beras Alami Deflasi Setelah 8 Bulan Berturut-turut Inflasi

Whats New
17 Bandara Internasional yang Dicabut Statusnya Hanya Layani 169 Kunjungan Turis Asing Setahun

17 Bandara Internasional yang Dicabut Statusnya Hanya Layani 169 Kunjungan Turis Asing Setahun

Whats New
Berikan Pelatihan Keuangan untuk UMKM Lokal, PT GNI Bantu Perkuat Ekonomi di Morowali Utara

Berikan Pelatihan Keuangan untuk UMKM Lokal, PT GNI Bantu Perkuat Ekonomi di Morowali Utara

Rilis
Harga Saham Bank Mandiri Terkoreksi, Waktunya 'Serok'?

Harga Saham Bank Mandiri Terkoreksi, Waktunya "Serok"?

Earn Smart
Tutuka Ariadji Lepas Jabatan Dirjen Migas, Siapa Penggantinya?

Tutuka Ariadji Lepas Jabatan Dirjen Migas, Siapa Penggantinya?

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com