Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Soal PPN Sembako, Anggota Komisi XI DPR: Apakah Sri Mulyani Lelah Mencintai Indonesia?

Kompas.com - 13/06/2021, 07:52 WIB
Rully R. Ramli,
Yoga Sukmana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Rencana pemerintah untuk mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk komoditas sembako melalui Revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) menuai polemik.

Kali ini penolakan datang dari Anggota Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun, yang menilai rencana tersebut bertentangan dengan semangat pemerintah yang fokus membantu masyarakat kecil.

Menurutnya, bahan pokok, sektor pendidikan, dan kesehatan tidak seharusnya dipajaki, sebab ketiga sektor tersebut, memiliki peranan penting dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sebagai tujuan negara.

"Kalau beras dijadikan objek pajak dan dikenakan PPN, pengaruhnya pada kualitas pangan rakyat. Rakyat butuh pangan yang bagus agar kualitas kehidupan mereka juga baik," katanya dalam keterangan tertulis, dikutip Minggu (13/6/2021).

Baca juga: PPN Sembako dkk Diyakini Bikin Sistem Pajak Lebih Adil, Begini Penjelasan Stafsus Menkeu

Misbakhun menilai isi RUU KUP yang memuat rencana pengenaan PPN terhadap sektor pendidikan dan pangan justru membuktikan pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati gagal membuat kebijakan yang merujuk pada amanat konstitusi.

Pasalnya, Ia menyebutkan, konsitusi mengamanatkan berbagai sektor yang harus dijaga dengan semangat gotong royong.

"Apakah Bu SMI (Sri Mulyani Indrawati) lelah mencintai negeri ini? Beliau tidak boleh lelah mencintai negara ini dengan cara membuat kebijakan yang terkoneksi pada tujuan kita bernegara di konstitusi," tuturnya.

Seharusnya, Misbakhun menambah, Sri Mulyani memiliki solusi untuk menaikkan tax ratio dan penerimaan pajak tanpa harus menerapkan PPN pada sembako dan pendidikan.

Baca juga: Pemerintah Janji PPN Sembako hingga Sekolah Tak Diberlakukan Tahun Ini

 

Oleh karenanya, Misbakhun menyarankan Sri Mulyani untuk segera menarik RUU KUP.

"Tarik dan revisi, karena isi RUU KUP itu sangat tidak populer," ucapnya.

Dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI, Kamis (10/6/2021), Sri Mulyani mengatakan, draf RUU KUP sudah dikirimkan ke DPR namun secara resmi belum dibacakan dalam Rapat Paripurna.

Ia pun heran dokumen pemerintah tersebut justru lebih dulu bocor ke publik. Bocornya tersebut diakuinya membuat situasi pemerintah dengan DPR agak kikuk karena para anggota dewan itu belum menerima draf resmi dokumen PPN atau draf RUU KUP.

"Oleh karena itu situasinya jadi agak kikuk karena ternyata kemudian dokumennya keluar, sehingga kami tidak dalam posisi untuk bisa menjelaskan keseluruhan arsitektur dari perpajakan kita yang keluar sepotong-sepotong," kata Sri Mulyani.

Baca juga: Kerap Dibenturkan, Ini Bedanya PPN Sembako dengan Insentif PPnBM

Meski begitu, ia membantah anggapan bahwa pemerintah tidak mempertimbangkan pemulihan ekonomi karena rencana pengenaan PPN pada sembako.

Bendahara negara ini mengungkapkan, setiap kebijakan pajak yang diambil pemerintah, termasuk pengenaan PPN pada sembako akan mempertimbangkan situasi pandemi dan pemulihan ekonomi.

"Kemudian (rencana PPN sembako) di-blow up seolah-olah menjadi sesuatu yang bahkan tidak mempertimbangkan situasi hari ini. Padahal hari ini fokus kita itu memulihkan ekonomi," kata Sri Mulyani.

Ia menyatakan, pemulihan ekonomi menjadi tema utama pemerintah pada tahun ini dan tahun depan. Dengan demikian, hal-hal yang berdampak buruk pada pemulihan ekonomi tak mungkin dijalankan.

Baca juga: Ketika Sri Mulyani Heran Draf PPN Sembako Bisa Bocor ke Publik

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com