Ironisnya, di saat koperasi merupakan model ekonomi yang redistributif dan berkeadilan, justru sampai sekarang tak memiliki lembaga penjamin seperti bank (swasta) yang berorientasi murni profit. Belum lagi mekanisme bail-out pada bank, yang lagi-lagi, tak ada di koperasi.
Lapis kedua, bila persepsi negatif itu massif dan tak terkendali, rush terjadi, maka kesulitan likuiditas dapat ditangani oleh LPS. Tentu tetap dengan protokol tertentu, diperiksa apakah sebab karena mis-pengelolaan, fraud atau sebab lain. Dalam konteks pandemi, jelas sebabnya, keadaan kahar (force majeure).
Soal koperasi seperti apa yang layak menjadi peserta LPS dapat kita diskusikan. Misalnya, hanya koperasi yang nyata-nyata berbasis anggota (member-based), yang bisa menjadi peserta LPS. Di luar itu, tidak.
Dengan cara demikian, akan mendorong koperasi-koperasi yang belum taat azas akan menyesuaikan diri. Termasuk berbagai isu tata kelola yang baik (good governance) juga dapat disyaratkan. Alhasil, LPS bisa menjadi leveraging factor pengembangan koperasi di Indonesia.
Baca juga: Kini Bangun Koperasi Tak Perlu 20 Orang Lagi
Dulu UU Perkoperasian No. 17 Tahun 2012 sebenarnya telah memberi mandat pendirian LPS bagi koperasi. Pasal 94 UU itu menyatakan, “Pemerintah dapat membentuk Lembaga Penjamin Simpanan Koperasi Simpan Pinjam untuk menjamin Simpanan Anggota”.
Kemudian adanya imperasi yang menyatakan “Koperasi Simpan Pinjam wajib menjamin Simpanan Anggota”. Dilanjutkan ayat berikutnya berbunyi “Ketentuan mengenai Lembaga Penjamin Simpanan Koperasi Simpan Pinjam diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
Sejak dibatalkan Mahkamah Konstitusi tahun 2014, mandat itu sampai sekarang belum terwadahi, baik di UU No. 25 Tahun 1992, pun penyempurnaannya melalui UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020.
Sekarang kita menerima pelajaran menyakitkan dari banyaknya koperasi yang mengalami kesulitan likuiditas di mana negara tak bisa hadir secara maksimal. Itu ibarat melihat orang tenggelam, ingin menolong, tapi tak bisa. Saya bayangkan begitu perasaan Menteri Koperasi saat ini, gemas.
Menteri Koperasi Teten Masduki diberi amanat mengembangkan koperasi modern. Hemat saya, infrastruktur kelembagaan seperti LPS adalah inline dan urgent dikerjakan. Menteri sebagai eksekutif harus berinisiatif mendorong pendirian LPS pada revisi UU Perkoperasian mendatang. Tujuannya jelas, negara hadir memastikan bahwa warga negaranya aman dan nyaman menjadi anggota koperasi. Bagaimana koperasi sebagai entitas legal di republik ini juga diberikan fasilitas yang cukup seperti lembaga lainnya.
Sulit membayangkan koperasi Indonesia menjadi modern tanpa membangun ekosistem yang mendukung. LPS adalah salah satu pilar yang perlu ada di antara pilar-pilar kelembagaan lainnya. Di sanalah kerja nyata Kementerian diharapkan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.