Para politisi, tokoh partai mengganti dan memegang kendali pemerintahan, hingga memimpin berbagai departemen yang sekaligus menyeleksi pegawai negeri.
Baca juga: Penasaran Berapa Gaji Polisi Berpangkat Jenderal?
Sehingga warna departemen sangat ditentukan oleh partai yang berkuasa saat itu. Dominasi partai dalam pemerintahan terbukti mengganggu pelayanan publik.
PNS yang seharusnya berfungsi melayani masyarakat (publik) dan negara menjadi alat politik partai. PNS pun menjadi terkotak-kotak. Prinsip penilaian prestasi atau karir pegawai negeri yang fair dan sehat hampir diabaikan.
Kenaikan pangkat PNS misalnya dimungkinkan karena adanya loyalitas kepada partai atau pimpinan departemennya. Afiliasi pegawai pemerintah sangat kental diwarnai dari partai mana ia berasal.
Kondisi ini terus berlangsung hingga dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan Dekrit Presiden ini sistem ketatanegaraan kembali ke sistem Presidensiil berdasar UUD 1945. Akan tetapi dalam praktek kekuasaan Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan sangatlah besar.
Baca juga: Mengintip Besaran Gaji Polisi, Lengkap dari Tamtama hingga Jenderal
Era ini lebih dikenal dengan masa Demokrasi Terpimpin, sistem politik dan sistem ketatanegaraan diwarnai oleh kebijakan Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunisme).
Dalam kondisi seperti ini, muncul berbagai upaya agar pegawai negeri netral dari kekuasaan partai-partai yang berkuasa.
Sistem pemerintahan demokrasi parlementer berakhir dengan meletusnya peristiwa G-30S. Pegawai pemerintah banyak yang terafiliasi dengan PKI. Banyak dari mereka berakhir di tahanan dan dicap sebagai tapol.
Pada awal era Orde Baru dilaksanakan penataan kembali pegawai negeri dengan munculnya Keppres RI Nomor 82 Tahun 1971 tentang Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri).
Baca juga: Besaran Gaji TNI Plus Tunjangannya, dari Tamtama hingga Jenderal
Berdasarkan Kepres yang bertanggal 29 November 1971 itu, Korpri adalah merupakan satu-satunya wadah untuk menghimpun dan membina seluruh pegawai RI di luar kedinasan.
Namun bekalangan, oleh Presiden Soeharto, Korpri kembali jadi alat politik. Merujuk pada UU Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya serta Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1976 tentang Keanggotaan PNS dalam Parpol, makin memperkokoh fungsi Korpri dalam memperkuat barisan partai.
Sehingga setiap kali terjadi birokrasi selalu memihak kepada salah satu partai, bahkan dalam setiap Musyawarah Nasional Korpri, diputuskan bahwa organisasi ini harus menyalurkan aspirasi politiknya ke Golkar.
Loyalitas Korpri ke Golkar ini kemudian memudar seiring dengan masuknya Indonesia ke dalam reformasi. Namun demikian, tanggal 29 November saat Soeharto mengeluarkan Kepres, kemudian tetap dijadikan sebagai Hari Korpri.
Baca juga: Lengkap Tabel Gaji PNS Golongan I sampai IV, Plus Semua Tunjangannya
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.