Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mau Jadi Investor Fintech? Simak Untung Ruginya

Kompas.com - 29/11/2021, 11:43 WIB
Erlangga Djumena

Editor

Sumber

JAKARTA, KOMPAS.com - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus mendorong tumbuhnya keberadaan pendana atau lender ritel fintech P2P lending. Bahkan, ke depan diharapkan fintech lending banyak didominasi oleh lender ritel agar tidak bergantung pada satu dua lender institusi.

Namun, jika merujuk data OJK pada September 2021, harapan tersebut akan menjadi tugas berat dana dari lender ritel baru memiliki kontribusi sebesar 22,8 persen dari outstanding pinjaman per September 2021. Adapun nilainya hanya mencapai Rp 6,14 triliun.

Jika melihat untung ruginya, menjadi lender di fintech lending sejatinya memberikan penawaran imbal hasil yang cukup kompetitif.

Baca juga: AFPI Sebut Penyaluran Pinjaman Fintech pada 2021 Capai Rp 262,9 Triliun

Perencana Keuangan dari Finansia Consulting Eko Endarto menyebutkan, imbal hasil dari platform ini lebih tinggi dari instrumen deposito yang jika merujuk pada BI rate sekitar 3,5 persen.

“Dari deposito lebih bagus. Hasil pasti, waktu sama dengan deposito tapi hasil lebih tinggi,” ujar Eko, akhir pekan lalu.

Hanya saja dari sisi produk, Eko merekomendasikan untuk investor yang menjadi lender ritel di fintech lending adalah yang memiliki profil medium risk.

Mengingat, produk ini terbilang baru dan aturannya masih banyak belum mapan. “Maka tetap harus waspada. yang pasti enggak boleh 100 persen di produk tersebut,” ujar Eko.

Senada, Perencana Keuangan dari Oneshildt Agustina Fitria mengatakan, menjadi lender di fintech lending memiliki risiko gagal bayar dari peminjam yang menyebabkan 100 persen bunga dan pokok kembali.

Fitri mengakui, berinvestasi dengan menjadi lender memiliki banyak kelebihan seperti bisa berinvestasi mulai dari ratusan ribu rupiah, bunga investasi yang lebih tinggi, dan jangka waktu investasi yang bervariasi.

Namun, dia juga menyoroti bahwa penghasilan bunga yang didapatkan dari fintech p2p lending masuk dalam objek pajak penghasilan. Hal tersebut berbeda dengan imbal hasil dari instrumen lain seperti deposito yang sudah dikenakan pajak final.

“Jadi meskipun fintechnya sudah memotong pajak, namun itu sifatnya belum final. Jadi penghasilannya harus dijadikan satu dengan penghasilan lainnya, dan pajak yang sudah dipotong menjadi kredit pajak yang diperhitungkan dalam tarif umum pajak progresif,” ungkap Fitri.

Baca juga: Pendanaan Fintech di ASEAN Tumbuh Tiga Kali Lipat, Tertinggi dalam Sejarah

Bunga tinggi

Sementara itu, melihat dari beberapa pemain fintech lending, rata-rata bisa memberikan imbal hasil di atas 10 persen. Misalnya, Akseleran yang saat ini menawarkan imbal hasil sekitar 10,5 persen hingga 12 persen meskipun sedikit turun dari sebelumnya yang bisa mencapai sekitar 13 persen hingga 14 persen.

CEO Akseleran Ivan Tambunan mengatakan, saat ini porsi lender ritel di Akseleran masih mendominasi sebanyak 70 persen dari pinjaman yang disalurkan. Ia menilai keberadaan lender ritel ini memberi keuntungan bagi platform ketika keadaan ekonomi sedang tidak stabil.

“Walaupun keadaan ekonomi naik turun, lender ritel ini bakal tetap ada karena banyak jumlahnya, sedangkan institusional ini jumlahnya belasan. Sehingga kalau ada Covid-19 kayak kemarin sempat kecil,” ujar Ivan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com