Utang jangka panjang PLN diantaranya didominasi oleh obligasi dan sukuk sebesar Rp 192,8 triliun, utang bank Rp 154,48 triliun, utang imbalan kerja Rp 54,6 triliun, liabilitas pajak tangguhan Rp 31,7 triliun, dan penerusan pinjaman Rp 35,61 triliun.
Pada Juni 2021 lalu, Erick Thohir juga sempat mengungkapkan, bahwa PLN memiliki utang yang menumpuk hingga Rp 500 triliun. Hal itu yang membuat BUMN kelistrikan itu harus memangkas belanja modal (capital expenditure/capex) hingga 50 persen untuk efisiensi.
Baca juga: Berikut Daftar 19 Relawan Jokowi yang Jadi Komisaris BUMN
"PLN itu utangnya Rp 500 triliun, tidak ada jalan kalau tidak segera disehatkan. Salah satunya, itu kenapa sejak awal kami meminta capex PLN ditekan sampai 50 persen," ujarnya dalam rapat dengan Komisi VI DPR RI.
Selain memangkas capex, penanganan utang yang besar itu dilakukan pula dengan meminta PLN melakukan negosiasi ulang kepada pihak kreditur untuk bisa mendapatkan bunga yang lebih rendah. Adapun hingga saat ini jumlah rasio utang PLN sudah menjadi Rp 452,4 triliun.
Kinerja keuangan Garuda Indonesia yang buruk sudah lama menjadi sorotan. Kementerian BUMN mencatat, hingga akhir September 2021, utang maskapai pelat merah ini sudah mencapai 9,8 miliar dollar AS atau sekitar Rp 138,87 triliun (asumsi kurs Rp 14.200 per dollar AS).
Tiko mengatakan, liabilitas atau kewajiban Garuda mayoritas berasal dari utang kepada lessor mencapai 6,35 miliar dollar AS. Selebihnya ada utang ke bank sekitar 967 juta dollar AS, dan utang dalam bentuk obligasi wajib konversi, sukuk, dan KIK EBA sebesar 630 juta dollar AS.
Baca juga: Daftar 9 Pentolan NU yang Jadi Komisaris BUMN
Menurutnya, secara teknis Garuda sudah dalam kondisi bangkrut, namun belum secara legal. Sebab maskapai milik negara ini punya utang yang lebih besar ketimbang asetnya, sehingga mengalami ekuitas negatif.
Garuda memiliki ekuitas negatif sebesar 2,8 milliar dollar AS atau sekitar Rp 40 triliun, di mana liabilitasnya mencapai 9,8 miliar dollar AS, sedangkan asetnya hanya sebesar 6,9 miliar dollar AS.
"Sebenarnya kalau dalam kondisi saat ini, dalam istilah perbankan ini technically bankrupt (secara teknis bangkrut), tapi legally belum. Sekarang kami sedang berusaha untuk keluar dari kondisi ini yang technically bangkrupt," ungkap Tiko dalam rapat dengan Komisi VI DPR RI.
Manajemen Garuda Indonesia melalui keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI) Selasa (16/11/2021) menjelaskan, pendapatan perusahaan selalu lebih rendah ketimbang biaya operasional yang dikeluarkan.
Hingga September 2021, total pendapatan Garuda sebesar 568 juta dollar AS atau sekitar Rp 8,06 triliun, sementara total biaya operasional mencapai 1,29 miliar dollar AS atau sekitar Rp 18,31 triliun.
Kinerja keuangan Angkasa Pura I atau AP I menjadi sorotan paling teranyar. BUMN pengelola bandara ini ternyata memiliki utang jumbo mencapai sekitar Rp 35 triliun.
Tumpukan utang itu utamanya diakibatkan oleh pendapatan perseroan yang tergerus selama pandemi Covid-19. Pada saat bersamaan, AP I telah menggelontorkan banyak uang untuk melakukan ekspansi dengan membangun dan mengembangkan bandara.
Baca juga: Demi Konten, Dalih Erick Thohir Tunjuk Abdee Slank Jadi Komisaris BUMN
Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo mengatakan, saat ini rata-rata setiap bulannya AP I mengalami kerugian sebesar Rp 200 miliar. Ini membuat utang perseroan berpotensi terus bertambah, dan bisa mencapai Rp 38 triliun.
"Memang AP I sekarang tekanannya berat sekali,” ujar pria yang akrab disapa Tiko itu dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI.