Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanuddin Wahid
Sekjen PKB

Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Anggota Komisi X DPR-RI.

Stok Pangan Harus Dicukupi dengan Produksi, Bukan Impor!

Kompas.com - 15/04/2022, 08:31 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Terkait ini, pemerintah pernah menjelaskan akan memberikan stimulus dan insentif untuk tetap menjaga kinerja di sektor pertanian dan perikanan, melalui Program Padat Karya Pertanian; Program Padat Karya Perikanan; Banpres Produktif UMKM Sektor Pertanian; Subsidi Bunga Mikro/Kredit Usaha Rakyat; dan Dukungan Pembiayaan Koperasi dengan Skema Dana Bergulir.

Pemerintah pun telah menyusun kebijakan dalam menjaga rantai ketahanan pangan nasional dengan cara, pertama, mengimplementasi UU Cipta Kerja yang terkait penyederhanaan, percepatan, kepastian dalam perizinan, serta persetujan ekspor/impor.

Kedua, mempercepat digitalisasi UMKM sebagai bagian bentuk realisasi dari dua agenda besar pemerintah saat ini, yaitu agenda Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan Transformasi Digital.

Baca juga: Tak Ingin RI Terus Impor Pangan, Buwas: Negara Agraris Kok Impor..

Ketiga, mengembangkan sinergi BUMN untuk distribusi hasil pertanian dari sentra produksi ke sentra konsumen, yaitu pengembangan sistem logistik pangan berbasis transportasi kereta api dalam bentuk distribusi bahan pangan ke wilayah timur.

Keempat, melakukan penguatan kerja sama antar-daerah khususnya dalam pemenuhan pangan. Kelima, Pembentukan holding BUMN pangan dalam penguatan Ekosistem Pangan Nasional.

Tiga tantangan

Tentu saja, kita semua perlu mendukung stategi pemerintah tersebut. Namun, kita perlu juga menyadari bahwa upaya meningkatkan volume dan kualitas produksi pangan tak semudah membalikkan telapak tangan. Sebab, peningkatan produksi pangan ditentukan oleh banyak faktor.

Belajar dari best practice di negara-negara maju, kita dapat mengidentifikasi ada tiga masalah utama yang perlu mendapat perhatian serius. Pertama, adalah faktor sumber daya manusia (SDM) atau petani. Sudah menjadi rahasia umum, penentu kesuksesan peningkatan produksi pangan adalah petani.

John Mclnemey (2020) mengatakan, dalam beberapa dekade terakhir para petani Inggris misalnya, sedang mentransformasikan dirinya menjadi petani yang menemukan cara baru untuk berproduksi secara berkelanjutan, yaitu suatu cara berproduksi yang didorong oleh apa yang diinginkan konsumen akhir, bukan berdasarkan dan asumsi sederhana tentang kebutuhan untuk memperluas output.

Bagamana di Indonesia? Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah petani per 2019 mencapai 33,4 juta orang.

Dari jumlah tersebut, petani muda di Indonesia yang berusia 20-39 tahun hanya 8 persen atau setara dengan 2,7 juta orang.

Sekitar 30,4 juta orang atau 91 persen berusia di atas 40 tahun, dengan mayoritas usia mendekati 50-60 tahun.

BPS 2021 menyebutkan bahwa hal yang menyebabkan produktifitas pertanian Indonesia belum optimal adalah karena mayoritas didominasi oleh orang-orang yang berpendidikan rendah dan berusia tua.

Faktor penentu kedua adalah penerapan teknologi. Di negara maju, selain sudah terbiasa menggunakan teknologi pertanian moderen, para petaninya sudah melakukan transformasi digital pertanian yang melibatkan adopsi teknologi digital seperti konektivitas seluler/internet, kecerdasan buatan (AI), pembelajaran mesin (ML), komputasi awan, Internet of Things (IoT), dan blockchain/Distributed Ledger Technology (DLT) untuk mengaktifkan model bisnis baru yang dapat membantu meningkatkan hasil pertanian, efisiensi, pendapatan, dan profitabilitas.

Sementara di Indonesia, sebagian besar petani masih berkutat dengan peralatan tradisional, cenderung menerapkan teknologi yang tak ramah lingkungan (pupuk kimia), termasuk mengawetkan bahan pangan dengan cara pintas menggunakan bahan pengawet kimiawi. Hanya segelintir petani milenial yang mulai bertransformasi ke digitalisasi pertanian.

Ketiga, kondisi lahan pertanian yang kian berkurang baik luas maupun kualitasnya. BPS (2021) melaporkan potensi luas lahan panen padi misalnya merosot 0,14 juta hektare menjadi sebesar 10,52 juta hektare jika dibandingkan dengan tahun 2020 yang sempat mencapai 10,66 juta hektare.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com