Pokok persoalannya, perhitungan angka inflasi sama sekali tak mengalkulasi dimensi perilaku pasar dan kualitas produk. Angka Inflasi tak mampu menangkap fenomena-fenomena manipulatif yang dilancarkan produsen untuk mendongkrak profit di tengah inflasi.
Shrinkflation, misalnya, yakni strategi menjaga biaya tetap agar terkendali dengan mengurangi ukuran produk di tingkat harga yang sama.
Baca juga: Apa Itu Inflasi?
Di Indonesia, fenomena-fenomena tersebut sudah perlu diwaspadai sebab lonjakan Indeks Harga Produsen (IHP) pada kuartal II/2022 telah menyentuh 11,77 persen secara tahunan (yoy). Ini merupakan indikasi yang cukup signifikan terkait lonjakan inflasi dari sisi penawaran.
Alarm biaya produksi meningkat telah menyala, sehingga produsen sudah mengalami tekanan harga yang jauh lebih mahal dibandingkan kondisi sebelumnya. Tingkat harga produsen yang lebih tinggi tersebut akan berdampak langsung pada harga di level konsumen di masa mendatang.
Jika dibandingkan, IHP saat ini tercatat lebih rendah dari IHK. Hal ini dikarenakan produsen masih belum menaikkan harga di tingkat konsumen, karena masih tertahan oleh subsidi dan kompensasi energi yang diberikan pemerintah.
Selisih antara inflasi IHP dan IHK ke depan akan menyempit karena konsumen akan menanggung biaya limpahan produsen (pass-through) yang signifikan akibat subsidi yang secara perlahan akan dikurangi pemerintah.
Hal itu menyebabkan profit margin perusahaan kian tipis dan produsen tak segan melimpahkan harga ke konsumen. IHK bisa naik cukup drastis. Inilah yang perlu kita antisipasi dalam beberapa waktu ke depan.
Namun di sisi lain, laporan tengah tahun CEIC Data menunjukkan margin laba yang diinginkan (expected profit margin) perusahaan tumbuh rata-rata 15,31 persen pada Juni 2022. Rekor ini naik dari angka sebelumnya sebesar 15,18 persen pada Desember 2021.
Tentu saja kondisi itu merupakan paradoks, dimana rata-rata perusahaan masih menikmati profit tinggi di tengah inflasi yang semakin tinggi.
Selama ini, inflasi menjadi salah satu “kambing hitam” korporasi sebagai alasan untuk tidak menaikkan besaran upah minimum. Padahal saat perusahaan berhasil mendulang untung, maka ruang ekspansi bisnis dan reinvestasi seharusnya semakin luas.
Profit tinggi dapat diinvestasikan kembali untuk memperbaiki seluruh masalah warisan saat pandemi melanda. Maka sudah saatnya upah minimum provinsi (UMP) 2023 menyesuaikan dengan daya beli masyarakat yang tergerus inflasi.
Dalam situasi yang semakin normal, ketika terjadi kenaikan harga kebutuhan atau biaya hidup, maka tuntutan kenaikan upah merupakan hal yang sangat wajar. Implikasi rendahnya kenaikan UMP di tengah inflasi yang sudah tinggi juga menghambat pemulihan ekonomi.
Ke depan, polemik kenaikan upah diharapkan tak lagi mewarnai pembahasan dan penetapan UMP. Persoalan UMP memang merupakan persoalan penting bagi kesejahteraan kaum pekerja dan keberhasilan dunia usaha.
Sebagai subjek penting dalam pengelolaan usaha, sudah seharusnya nasib buruh mendapatkan perhatian sungguh-sungguh dari semua pihak, termasuk hak UMP yang layak. Namun, diperlukan ketulusan dan kejujuran dari semua pihak yang membicarakan UMP atas nama buruh, pengusaha, dan pemerintah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.